Bila
menengok kondisi perkomikan lokal pada periode 1990-an, kita akan menemukan
fakta bahwa komik lokal pernah melalui masa yang amat sulit. Kala itu, toko
buku besar menjadi jalur distribusi yang difavoritkan pembeli buku. Oleh
karenanya, tidak aneh bila menerbitkan komik lewat jalur penerbit, yang kemudian
dijual lewat toko buku tersebut menjadi pilihan utama sebagian penulis. Sayangnya,
dengan alasan lebih menguntungkan secara komersial, penerbit justru lebih
tertarik menerbitkan komik Jepang terjemahan yang merupakan primadona di
kalangan anak muda saat itu. Ketidakmampuan komik lokal bersaing dan menembus distribusi toko buku
besar membuatnya tenggelam secara perlahan. Bahkan, taman bacaan yang
biasa menjadi jalur distribusinya selama puluhan tahun pun menghilang satu demi
satu.
Tulisan tentang apa saja yang pernah bercokol dalam alam pikiran saya. Bila tidak keberatan, silakan dibaca, Bung dan Nona sekalian!
Senin, 18 April 2016
Minggu, 03 April 2016
Perbudakan di Batavia pada Abad 17 dalam Sebuah Komik (Review Komik Roseta)
Apa syarat agar sebuah komik berkesan di hati pembaca? Menurut
saya, tak ada jawaban yang benar-benar pasti. Hati
adalah wilayah yang terlampau sukar untuk dijamah logika. Sampai sekarang,
belum ditemukan jawaban jitu bila muncul pertanyaan yang menyenggol urusan hati. Meski tidak melulu tepat, menurut saya, ada satu metode berkomik yang biasanya sukses mencapai hati pembaca.
Tidak lain dan tidak bukan, komik mesti dibuat dengan sungguh-sungguh. Tidak sekedar memakai teknik gambar dan
bercerita yang baik, tapi sang pengkarya juga kudu menguasai materi setelah melalui riset mumpuni. Berkenaan dengan itu, bagi saya, ada satu komik yang tercipta dengan metode
demikian dan sukses memberi kesan yang mendalam, yaitu Roseta
karya Man.
Langganan:
Postingan (Atom)