Senin, 18 April 2016

Lika-Liku Komik Indie : Selalu Menjadi Solusi Alternatif?


Bila menengok kondisi perkomikan lokal pada periode 1990-an, kita akan menemukan fakta bahwa komik lokal pernah melalui masa yang amat sulit. Kala itu, toko buku besar menjadi jalur distribusi yang difavoritkan pembeli buku. Oleh karenanya, tidak aneh bila menerbitkan komik lewat jalur penerbit, yang kemudian dijual lewat toko buku tersebut menjadi pilihan utama sebagian penulis. Sayangnya, dengan alasan lebih menguntungkan secara komersial, penerbit justru lebih tertarik menerbitkan komik Jepang terjemahan yang merupakan primadona di kalangan anak muda saat itu. Ketidakmampuan komik lokal bersaing dan menembus distribusi toko buku besar membuatnya tenggelam secara perlahan. Bahkan, taman bacaan yang biasa menjadi jalur distribusinya selama puluhan tahun pun menghilang satu demi satu.


Meski ditimpa kesulitan, rupanya tidak membuat penggiat komik lokal menyerah. Dengan bermodal semangat dan cintanya yang keras kepala, mereka membuat sarana alternatif berupa komik yang diterbitkan dan didistribusikan secara mandiri atau yang biasa disebut pergerakan indie (karena tidak menempuh jalur toko buku). Komik indie yang muncul terdiri dari berbagai macam jenis. Mulai dari komik agama seperti Surga-Neraka, Lakon Petruk-Gareng yang dibuat oleh Tatang S. (yang kemudian banyak ditiru komikus lain, tapi entah kenapa tetap menggunakan nama Tatang S.), komik fotokopian dan lain-lain. Di antara para penggiat komik lokal yang mengambil jalur indie dalam berkarya, rupanya banyak juga yang menjadikannya batu loncatan untuk berkarir di jalur mainstream, yaitu mencetak karya lewat penerbit agar karyanya dapat jalur distribusi toko buku besar. Gayung pun bersambut, beberapa waktu kemudian bermunculan berbagai penerbit baru yang bekerjasama dengan komikus-komikus indie yang aktif berkarya pada masa itu sehingga karya mereka mendapat tempat pada jalur distribusi toko besar.

 Tahun demi tahun berganti, saat ini sudah tidak sulit untuk menemukan komik lokal di rak-rak toko buku besar. Bahkan, beberapa genre tertentu seperti kritik sosial dan komik agama tidak jarang menjadi best seller dan kerap dicetak ulang hingga berkali-kali. Meski keadaan komik lokal tampak sedang “indah-indahnya”, rupanya muncul pendapat lain. Dalam sebuah acara diskusi pada 24 Maret 2016 di Yogyakarta, Aji Prasetyo, komikus yang karyanya sudah diterbitkan dan masuk jalur distribusi toko buku besar mengatakan bahwa karya yang akan dia keluarkan berikutnya justru akan diterbitkan secara indie. Ada apa gerangan?

“Sebuah kelompok tertentu tidak suka pada kritik yang saya tuangkan dalam komik. Mereka bahkan memaksa sebuah toko buku besar untuk tidak lagi menjual buku saya. Padahal isi buku tersebut tidak melanggar undang-undang, namun memang membuat kelompok tersebut tersinggung. Sayangnya, jaringan toko buku terbesar di Indonesia  itu menurut saja dengan gampangnya kepada kemauan kelompok itu. Jelas itu merugikan pihak penerbit dan komikus” jelas Aji.

Ya, bila membaca komik buatannya yang berjudul Hidup itu Indah, kita akan paham mengapa komik itu dituduh sebagai karya yang provokatif. Hidup itu Indah setidaknya mendapat dua apresiasi yang kurang mengenakkan lantaran isi dan terutama sampulnya menyindir kelakuan ormas Islam garis keras. Pertama, saat komik itu baru terbit di sebuah pameran buku di Jakarta tahun 2010, eks-banner yang mempromosikan komik tersebut dirobek dengan penuh amarah oleh seorang pengunjung. Peristiwa ini memang tidak menimbulkan kerugian yang berarti.

“Tapi kasihan penjaga stand-nya, harus mengalami kejadian seperti itu saat saya tidak berada di tempat”.

Kedua, toko buku besar yang menjadi jalur distribusi utama penjualan buku di negeri ini mendapat ancaman dari ormas yang tersinggung dengan karyanya tersebut. Ancaman tersebut mengakibatkan toko buku tersebut mengembalikan komik Hidup Itu Indah yang baru saja dicetak ulang kepada penerbit (dan barangkali membuat penerbit kelimpungan karena harus menjual sendiri komik tersebut). Sebenarnya, Sebenarnya, toko buku tersebut mau mencetak kembali karya Aji Prasetyo tersebut (setelah cetakan keduanya yang pada akhirnya habis juga), dengan syarat, sampul yang dianggap provokatif tersebut diganti dengan nuansa yang lebih soft.. Dengan tegas, Aji menolak. Baginya, justru sampul komiknya tersebut yang merupakan esensi terpenting dari kritiknya dalam komik Hidup itu Indah.


Sampul Hidup itu Indah
Sumber : Fb Aji Prasetyo.


Bagi Aji, selama memiliki dasar pemikiran yang jelas, kritik tidak boleh dicegah. Jika tidak sepakat dengan pendapat seseorang, maka sebaiknya kita membuka ruang diskusi atau debat, bukannya justru menolak dan membungkam kritik tersebut. Menolak kritik berarti melecehkan demokrasi dan menyuburkan sikap otoriter. Selain masalah pembatasan atas kritiknya, Aji juga mengangkat satu permasalahan lain yang membuatnya ingin menempuh jalur indie. Potongan yang diminta toko buku tersebut dari setiap buku yang terjual terlalu besar.

“Mentang-mentang mendominasi, toko buku yang satu itu meminta potongan yang amat besar. Mencapai 60%! Sedangkan penulis hanya mendapat 10%. Bayangkan, kita yang capek-capek menulis cuma dapet segitu. Lebih baik saya mendistribusikan karya saya sendiri” ujar Aji yang mendapat anggukan setuju dari audiens acara diskusi tersebut.


Zaman boleh silih berganti. Permasalahan dalam industri komik lokal akan selalu ada. Namun, entah kenapa sampai saat ini komik indie selalu tampil sebagai solusi alternatif dari pelbagai masalah yang muncul. Bila pada periode sebelumnya komik indie menjadi solusi bagi komikus sebagai batu loncatan agar bisa masuk jalur distribusi toko buku besar. Pada periode berikutnya, komik indie justru kembali menjadi solusi alternatif atas kritik yang sulit tersalurkan sekaligus perlawanan atas dominasi kapitalisme dalam bisnis distribusi buku. Yang menjadi pertanyaan, bila kelak timbul permasalahan baru pada perkomikan lokal, apakah komik indie dapat kembali hadir sebagai solusi? 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar