Bila
menengok kondisi perkomikan lokal pada periode 1990-an, kita akan menemukan
fakta bahwa komik lokal pernah melalui masa yang amat sulit. Kala itu, toko
buku besar menjadi jalur distribusi yang difavoritkan pembeli buku. Oleh
karenanya, tidak aneh bila menerbitkan komik lewat jalur penerbit, yang kemudian
dijual lewat toko buku tersebut menjadi pilihan utama sebagian penulis. Sayangnya,
dengan alasan lebih menguntungkan secara komersial, penerbit justru lebih
tertarik menerbitkan komik Jepang terjemahan yang merupakan primadona di
kalangan anak muda saat itu. Ketidakmampuan komik lokal bersaing dan menembus distribusi toko buku
besar membuatnya tenggelam secara perlahan. Bahkan, taman bacaan yang
biasa menjadi jalur distribusinya selama puluhan tahun pun menghilang satu demi
satu.
Meski ditimpa kesulitan, rupanya tidak membuat penggiat komik lokal menyerah. Dengan bermodal semangat
dan cintanya yang keras kepala, mereka membuat sarana
alternatif berupa komik yang diterbitkan dan didistribusikan secara mandiri
atau yang biasa disebut pergerakan indie (karena tidak menempuh jalur toko
buku). Komik indie yang muncul terdiri dari berbagai macam jenis. Mulai dari
komik agama seperti Surga-Neraka, Lakon Petruk-Gareng yang dibuat oleh Tatang
S. (yang kemudian banyak ditiru komikus lain, tapi entah kenapa tetap
menggunakan nama Tatang S.), komik fotokopian dan lain-lain. Di antara para
penggiat komik lokal yang mengambil jalur indie dalam berkarya, rupanya banyak
juga yang menjadikannya batu loncatan untuk berkarir di jalur mainstream, yaitu mencetak karya lewat
penerbit agar karyanya dapat jalur distribusi toko buku besar. Gayung pun
bersambut, beberapa waktu kemudian bermunculan berbagai penerbit baru yang
bekerjasama dengan komikus-komikus indie yang aktif berkarya pada masa itu
sehingga karya mereka mendapat tempat pada jalur distribusi toko besar.
Tahun demi tahun berganti, saat ini sudah
tidak sulit untuk menemukan komik lokal di rak-rak toko buku besar. Bahkan,
beberapa genre tertentu seperti kritik sosial dan komik agama tidak jarang
menjadi best seller dan kerap dicetak
ulang hingga berkali-kali. Meski keadaan komik lokal tampak sedang
“indah-indahnya”, rupanya muncul pendapat lain. Dalam sebuah acara diskusi pada
24 Maret 2016 di Yogyakarta, Aji Prasetyo, komikus yang karyanya sudah
diterbitkan dan masuk jalur distribusi toko buku besar mengatakan bahwa karya
yang akan dia keluarkan berikutnya justru akan diterbitkan secara indie. Ada
apa gerangan?
“Sebuah
kelompok tertentu tidak suka pada kritik yang saya tuangkan dalam komik. Mereka
bahkan memaksa sebuah toko buku besar untuk tidak lagi menjual buku saya.
Padahal isi buku tersebut tidak melanggar undang-undang, namun memang membuat
kelompok tersebut tersinggung. Sayangnya, jaringan toko buku terbesar di
Indonesia itu menurut saja dengan
gampangnya kepada kemauan kelompok itu. Jelas itu merugikan pihak penerbit dan
komikus” jelas Aji.
Ya,
bila membaca komik buatannya yang berjudul Hidup itu Indah, kita akan paham
mengapa komik itu dituduh sebagai karya yang provokatif. Hidup itu Indah
setidaknya mendapat dua apresiasi yang kurang mengenakkan lantaran isi dan
terutama sampulnya menyindir kelakuan ormas Islam garis keras. Pertama, saat
komik itu baru terbit di sebuah pameran buku di Jakarta tahun 2010, eks-banner
yang mempromosikan komik tersebut dirobek dengan penuh amarah oleh seorang
pengunjung. Peristiwa ini memang tidak menimbulkan kerugian yang berarti.
“Tapi
kasihan penjaga stand-nya, harus mengalami
kejadian seperti itu saat saya tidak berada di tempat”.
Kedua,
toko buku besar yang menjadi jalur distribusi utama penjualan buku di negeri
ini mendapat ancaman dari ormas yang tersinggung dengan karyanya tersebut.
Ancaman tersebut mengakibatkan toko buku tersebut mengembalikan komik Hidup Itu
Indah yang baru saja dicetak ulang kepada penerbit (dan barangkali membuat
penerbit kelimpungan karena harus menjual sendiri komik tersebut). Sebenarnya, Sebenarnya,
toko buku tersebut mau mencetak kembali karya Aji Prasetyo tersebut (setelah
cetakan keduanya yang pada akhirnya habis juga), dengan syarat, sampul yang
dianggap provokatif tersebut diganti dengan nuansa yang lebih soft.. Dengan tegas, Aji menolak.
Baginya, justru sampul komiknya tersebut yang merupakan esensi terpenting dari
kritiknya dalam komik Hidup itu Indah.
Sampul Hidup itu Indah
Sumber : Fb Aji Prasetyo.
Bagi
Aji, selama memiliki dasar pemikiran yang jelas, kritik tidak boleh dicegah.
Jika tidak sepakat dengan pendapat seseorang, maka sebaiknya kita membuka ruang
diskusi atau debat, bukannya justru menolak dan membungkam kritik tersebut.
Menolak kritik berarti melecehkan demokrasi dan menyuburkan sikap otoriter.
Selain masalah pembatasan atas kritiknya, Aji juga mengangkat satu permasalahan
lain yang membuatnya ingin menempuh jalur indie. Potongan yang diminta toko
buku tersebut dari setiap buku yang terjual terlalu besar.
“Mentang-mentang
mendominasi, toko buku yang satu itu meminta potongan yang amat besar. Mencapai
60%! Sedangkan penulis hanya mendapat 10%. Bayangkan, kita yang capek-capek
menulis cuma dapet segitu. Lebih baik saya mendistribusikan karya saya sendiri”
ujar Aji yang mendapat anggukan setuju dari audiens acara diskusi tersebut.
Zaman
boleh silih berganti. Permasalahan dalam industri komik lokal akan selalu ada.
Namun, entah kenapa sampai saat ini komik indie selalu tampil sebagai solusi
alternatif dari pelbagai masalah yang muncul. Bila pada periode sebelumnya
komik indie menjadi solusi bagi komikus sebagai batu loncatan agar bisa masuk
jalur distribusi toko buku besar. Pada periode berikutnya, komik indie justru
kembali menjadi solusi alternatif atas kritik yang sulit tersalurkan sekaligus
perlawanan atas dominasi kapitalisme dalam bisnis distribusi buku. Yang menjadi
pertanyaan, bila kelak timbul permasalahan baru pada perkomikan lokal, apakah
komik indie dapat kembali hadir sebagai solusi?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar