Minggu, 03 April 2016

Perbudakan di Batavia pada Abad 17 dalam Sebuah Komik (Review Komik Roseta)

Apa syarat agar sebuah komik berkesan di hati pembaca? Menurut saya, tak ada jawaban yang benar-benar pasti. Hati adalah wilayah yang terlampau sukar untuk dijamah logika. Sampai sekarang, belum ditemukan jawaban jitu bila muncul pertanyaan yang menyenggol urusan hati. Meski tidak melulu tepat, menurut saya, ada satu metode berkomik yang biasanya sukses mencapai hati pembaca.

Tidak lain dan tidak bukan, komik mesti dibuat dengan sungguh-sungguh. Tidak sekedar memakai teknik gambar dan bercerita yang baik, tapi sang pengkarya juga kudu menguasai materi setelah melalui riset mumpuni. Berkenaan dengan itu, bagi saya, ada satu komik yang tercipta dengan metode demikian dan sukses memberi kesan yang mendalam, yaitu Roseta karya Man.


 Komik Roseta

Roseta adalah komik yang bercerita mengenai seorang budak perempuan asal Bali yang bernama Roseta. Dia diculik dari daerah asalnya dan dijual pada keluarga Van der Ploegh di Batavia pada abad ke 17. Ya, konon kisah ini diangkat Man dari peristiwa yang benar-benar terjadi dan terekam dalam tulisan seorang jurnalis Belanda, W.L Ritter dan ditulis kembali pada 1910 oleh seorang penulis bernama H.F.R Hommer (dalam versi Hommer, nama yang tertulis adalah Rossina).

Roseta merupakan cerita yang amat tragis. Berbanding terbalik dengan parasnya yang cantik, nasib Roseta justru jauh dari kata bahagia. Setelah menjadi budak keluarga Van der Ploegh, dia kerap disiksa oleh nyonya besar yang kerap iri dengan kecantikannya. Karena tidak tahan lagi, Roseta pun memilih kabur dengan Jaya, pria yang mengaku berprofesi sebagai juragan perahu dan sering menggoda Roseta seakan dia amat mencintainya. Sungguh disayang, saat mengetahui bahwa Jaya adalah seorang kepala garong yang bermarkas di tengah hutan, harapannya untuk hidup dalam mahligai rumah tangga yang harmoni kandas. 

Ada beberapa aspek yang menjadi keunggulan komik ini. Di antaranya, komik Roseta ini digambar Man dengan detail yang sungguh indah. Menurut saya, Man berhasil menggambarkan setting Batavia pada abad 17 secara detail. Sebagai contoh, silakan tengok gambar Gedung Balai kota atau Stadhuis di bawah!

Gedung Stadhuis pada komik Roseta

Selain gambar yang indah, saya melihat Roseta juga memiliki nilai plus dengan mengangkat berbagai macam isu yang ada di Batavia pada masa lalu dengan cerdik. Tidak heran, saat membaca Roseta, kita dibuat seakan-akan menaiki mesin waktu ke abad 17 untuk melihat glamornya kehidupan keluarga Belanda yang suka berpesta, kebiasaan mengisap opium (madat) yang dilakukan berbagai lapisan masyarakat, banyaknya buaya yang mendiami rawa dan sungai (yang kemudian mempengaruhi budaya orang Betawi, mulai dari roti buaya hingga legenda siluman buaya putih), dan pastinya perbudakan yang dilakukan orang asing pada bangsa pribumi.


Budak Pribumi yang Membawa Kotak Sirih dan Memayungi Majikannya

Secara pribadi, saya berpendapat bahwa Roseta bukan sekedar komik yang merangkum mengenai potret perbudakan di Batavia pada abad 17. Lewat proses kreatifnya yang dilakukan Man di usia yang tidak muda lagi, saya menilai bahwa pada Roseta terdapat harapan agar komik bisa diperlakukan dengan lebih serius hingga bisa mendapat penghargaan yang sama tinggi seperti sebuah karya sastra. Harapan yang pasti bisa terlaksana lewat tangan komikus pada generasi penerus jika memiliki semangat dan usaha keras seperti beliau.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar