Apa syarat agar sebuah komik berkesan di hati pembaca? Menurut
saya, tak ada jawaban yang benar-benar pasti. Hati
adalah wilayah yang terlampau sukar untuk dijamah logika. Sampai sekarang,
belum ditemukan jawaban jitu bila muncul pertanyaan yang menyenggol urusan hati. Meski tidak melulu tepat, menurut saya, ada satu metode berkomik yang biasanya sukses mencapai hati pembaca.
Tidak lain dan tidak bukan, komik mesti dibuat dengan sungguh-sungguh. Tidak sekedar memakai teknik gambar dan
bercerita yang baik, tapi sang pengkarya juga kudu menguasai materi setelah melalui riset mumpuni. Berkenaan dengan itu, bagi saya, ada satu komik yang tercipta dengan metode
demikian dan sukses memberi kesan yang mendalam, yaitu Roseta
karya Man.
Komik Roseta
Roseta adalah
komik yang bercerita mengenai seorang budak perempuan asal Bali yang bernama Roseta. Dia
diculik dari daerah asalnya dan dijual pada keluarga Van der
Ploegh di Batavia pada abad ke 17. Ya, konon kisah ini diangkat Man dari peristiwa yang benar-benar terjadi dan terekam dalam tulisan seorang
jurnalis Belanda, W.L Ritter dan ditulis kembali pada 1910 oleh seorang penulis bernama H.F.R Hommer
(dalam versi Hommer, nama yang tertulis adalah Rossina).
Roseta
merupakan cerita yang amat tragis. Berbanding terbalik dengan parasnya yang cantik, nasib Roseta justru jauh dari kata bahagia. Setelah menjadi budak keluarga Van der Ploegh, dia kerap disiksa oleh nyonya besar yang kerap iri dengan kecantikannya. Karena tidak tahan lagi, Roseta pun memilih kabur dengan Jaya,
pria yang mengaku berprofesi sebagai juragan perahu dan sering menggoda Roseta seakan dia amat mencintainya. Sungguh
disayang, saat mengetahui bahwa Jaya adalah seorang kepala garong yang
bermarkas di tengah hutan, harapannya untuk hidup dalam mahligai rumah tangga
yang harmoni kandas.
Ada
beberapa aspek yang menjadi keunggulan komik ini. Di antaranya, komik Roseta ini digambar Man dengan detail yang sungguh indah. Menurut
saya, Man berhasil menggambarkan setting Batavia pada abad 17 secara detail. Sebagai contoh, silakan tengok gambar Gedung Balai kota atau Stadhuis di bawah!
Gedung Stadhuis pada komik Roseta
Selain
gambar yang indah, saya melihat Roseta juga
memiliki nilai plus dengan mengangkat berbagai macam isu yang ada di Batavia pada
masa lalu dengan cerdik. Tidak heran, saat membaca Roseta,
kita dibuat seakan-akan menaiki mesin waktu ke abad 17 untuk melihat glamornya
kehidupan keluarga Belanda yang suka berpesta, kebiasaan mengisap opium (madat)
yang dilakukan berbagai lapisan masyarakat, banyaknya buaya yang mendiami rawa
dan sungai (yang kemudian mempengaruhi budaya orang Betawi, mulai dari roti
buaya hingga legenda siluman buaya putih), dan pastinya perbudakan yang
dilakukan orang asing pada bangsa pribumi.
Budak Pribumi yang Membawa Kotak Sirih dan Memayungi Majikannya
Secara
pribadi, saya berpendapat bahwa Roseta bukan
sekedar komik yang merangkum mengenai potret perbudakan di Batavia pada abad
17. Lewat proses kreatifnya yang dilakukan Man di usia yang tidak muda lagi, saya
menilai bahwa pada Roseta terdapat
harapan agar komik bisa diperlakukan dengan lebih serius hingga bisa mendapat
penghargaan yang sama tinggi seperti sebuah karya sastra. Harapan yang pasti
bisa terlaksana lewat tangan komikus pada generasi penerus jika memiliki
semangat dan usaha keras seperti beliau.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar