Jumat, 11 Mei 2018

Selintas Kenang di Kota Kembang



Sebagai orang yang mudah terbawa perasaan, bagaimanapun bentuknya, saya paling tidak suka dengan perpisahan. Bahkan, meski perpisahan itu sudah direncanakan sematang mungkin. Kendati telah memutuskan Bandung hanya sebagai tempat singgah, segala kenang-kenangan selama satu tahun mendadak membuncah hebat di malam terakhir ini.
Pada awalnya saya memang tidak merencanakan sama sekali untuk merantau ke kota ini. Saat itu saya sedang galau-galaunya lantaran belum memiliki penghasilan yang layak dan hanya mengisi waktu sambil mengajar di bimbingan belajar sambil mengirim lamaran pekerjaan. Sayangnya, beberapa perusahaan yang saya kirimi, seakan enggan memberi jawaban. Meski ada juga yang akhirnya memberi harapan kerja, namun harus kembali kandas dalam tahap wawancara. Sampai pada akhirnya, saya melihat ada lowongan pekerjaan sebagai penulis naskah di Studio Kumata yang mampir di linimasa lewat akun Pia, seorang teman yang sudah terlebih dahulu bekerja di sana. Jadilah saya kembali mengirim lamaran di studio animasi yang terletak di Kota Kembang itu dengan penuh harapan.

Namanya juga industri kreatif. Meski pernah aktif dalam berbagai kegiatannya selama masih berkuliah di Yogyakarta bertahun-tahun, tetap tidak bisa menghilangkan keterkejutan di tiap pertemuan dengan orang-orang di bidang ini. Bayangkan, alih-alih diminta menceritakan mengenai diri dan motivasi kerja pada tahap wawancara, saya malah mendapat pertanyaan,
“Lo lucu gak?”
Saya terdiam beberapa saat.
“Pak, ini ngerjain apa bukan nih? Saya datang jauh-jauh lho dari Jakarta.”
  Daryl Wilson, CEO dari Studio Kumata yang mewawancarai saya saat itu tergelak. Selanjutnya wawancara berlanjut dengan membicarakan film animasi favorit masing-masing. Unik betul wawancaranya. Meski rasanya lebih rileks dibanding wawancara lain yang pernah saya lewati sebelumnya, pengalaman ditolak membuat saya tetap gugup. Alhamdulillah, setelah mengerjakan tes yang diberikan, saya diterima.
Bekerja di Studio Kumata sedikit banyak membuka pola pandang saya terhadap industri animasi. Menulis naskah untuk serial atau film animasi, jelas berbeda dengan menulis naskah untuk komik yang biasa saya kerjakan. Ada banyak pertimbangan yang perlu diperhatikan dalam menulis naskah, seperti banyaknya aset yang perlu digunakan dan imbasnya pada ongkos produksi, misalnya. Untungnya selalu ada rekan yang siap membantu dan mengajari hingga kemampuan saya dalam menulis menjadi lebih berkembang dari sebelumnya.

Rekan-rekan Penulis di Studio Kumata

 Dalam kesibukan menulis skenario, saya kerap membayangkan Tuhan pun telah menyiapkan skenario yang tidak terduga bagi makhlukNya. Betul saja, setelah Lingkar: Amazing Islam, komik yang saya buat bersama Bang Zia ul-Haq dan Mbak Asa Gupita Lizadi diterbitkan oleh Bentang Pustaka, saya mendapat kejutan berikutnya. Komik lain yang saya buat bersama Mas Awang Saputra yang berjudul Jawara Sejati berhasil dimuat di Kosmik Mook, salah satu majalah komik bergengsi tinggi yang terbit di Indonesia. Bahagia betul rasanya, terlebih saat melihat komik yang saya tulis ceritanya berada dalam majalah yang sama dengan karya para komikus idola. Sebuah impian yang akhirnya berhasil tercapai. Sayang, seperti yang selalu saya percaya. Tuhan selalu punya skenario yang tidak terduga. Majalah Kosmik Mook berhenti terbit dan mengubah pola bisnisnya menjadi lebih berfokus pada komik digital. Jadi, meski sempat berhenti terbit selama beberapa waktu, komik Jawara Sejati akan tetap berlanjut dalam waktu dekat, Insya Allah.

Komik Jawara Sejati di Kosmik Mook

Selain itu, saya juga menjadi sukarelawan dalam penyelenggaraan Pasar Komik Bandung alias Pakoban, semacam bazaar komik yang rutin diadakan di sebuah pusat perbelanjaan di Braga. Persiapan acara berlangsung sangat menyenangkan. Untuk promosi acara, kami bahkan (sempat-sempatnya) membuat video-video duel lawak receh berupa plesetan mengenai dunia komik yang diunggah pada akun facebook dan instagram Pakoban selama beberapa waktu. Benar-benar bentuk promosi yang unik, kok ya kepikiran coba? Hahaha. Menariknya, selain menjadi konten promosi di media sosial, turnamen duel lawak receh pun dijadikan salah satu acara panggung penutup hari pertama yang berlangsung meriah. Sayangnya, saya kalah receh dalam pertandingan pertama. Sebel, hahaha.

Keriaan di Pasar Komik Bandung

Setahun berlalu, Pakoban sudah berakhir dan saya pun sudah mengundurkan diri dari Studio Kumata. Sambil menyiapkan diri untuk petualangan berikutnya, saya mengucapkan terima kasih banyak pada Bandung dan segala anasirnya yang turut mengisi hidup saya selama setahun ini. Sekali lagi, terima kasih banyak dan sampai jumpa. Mohon doanya semoga perasaan-perasaan kita tetap selalu terkait.


Bandung, 12 Mei 2018.
Ditulis lewat tengah malam di kamar kos sambil kedinginan.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar