Bukan.
Gw bukan lagi pengen menjabarkan mengenai atheis sebagai ideologi atau pemikiran, mengingat gw ini cuma sarjana sok pinter yang telat lulus dengan IPK rada cekak, jelas bukan kapasitas gw juga buat ngejelasin hal semacam demikian. Atheis yang gw maksud adalah film
yang baru gw tonton hari ini (Sabtu, 11 Maret 2017) di Kineforum, Taman
Ismail Marzuki. Hal ini berawal dari kondisi gw yang lagi suntuk banget, mau
nulis tapi ide mampet. Liat timeline instagram (@tanfidz_t, barangkali ada yang
mau follow, hehe), kok ada film yang kayaknya menarik. Setelah gagal mengajak
beberapa teman, akhirnya gw pun berangkat nonton bersama penonton lain
yang tampaknya banyak juga yang datang sendirian (maklum sih, mana film jadul, kayaknya banyak yang gak tau pula. Jadi ngerasa elitis nih, wkwkwk).
Poster Film Atheis, suangaar!
Atheis adalah film keluaran
tahun 1974 yang disutradarai Sjuman Djaja yang diadaptasi dari novel
berjudul sama karya Achdiat Kartamihardja. Buat gw, novel tersebut adalah
salah satu buku terbitan Balai Pustaka yang cukup menggugah pikiran saat pertama kali gw baca beberapa
tahun silam semasa kuliah.
“Wah, baru tahu ada
novel Balai Pustaka sesangar ini.”
Begitu kira-kira yang
ada di pikiran gw tempo itu, agak gak bertanggung jawab juga sih mengingat
belum banyak juga novel Balai Pustaka yang udah gw baca, hehehe.
Buku dan Tiket Film, Semacam Bukti Konkret.
Atheis berkisah
mengenai pergulatan batin seorang santri yang saleh dan taat beragama dari desa bernama Hasan saat bekerja di PAM kota Bandung. Pergulatan batin itu bermula sejak dia bertemu dengan customer yang rupanya adalah kawan lamanya, Rusli, seorang aktivis revolusioner yang
berpaham kiri dan tidak percaya lagi pada Tuhan serta adik ketemu gede Rusli, Kartini. Melihat kondisi temannya yang menjauh dari Tuhan, pada
awalnya, Hasan bertekad untuk mengembalikan Rusli ke jalan agama. Namun situasi
makin runyam saat hati Hasan terjatuh di pangkuan Kartini serta munculnya Anwar,
seorang nihilis slebor yang merusak hubungan Hasan dengan ayahnya serta
Kartini.
Buat gw, Atheis
sangat menarik karena mampu menggugah pola pikir kritis dari sudut pandang
seorang muslim dalam menghadapi arus zaman. Tidak heran, bahkan sampai tokoh
sekaliber Buya Hamka pun turut terlibat sebagai supervisor yang mengawasi
jalannya pembuatan film. Selain itu, ada hal menarik lain yang membedakan film ini dan versi novelnya. Pada versi film, diceritakan meski jauh dari Tuhan, Rusli dekat dengan Kiai Zainal Mustofa yang syahid dalam jihad melawan imperialis Jepang. Bahkan, adegan peristiwa Singaparna yang tersohor itu pun turut dimunculkan dalam film. Sayangnya, meski mendapat banyak pujian dari
kritikus, film yang sempat memicu kontroversi sejak pembuatannya ini (novelnya juga) jeblok dan tidak laku di pasaran.
Yaah, gak heran sih…
Asli aku ngiri brur
BalasHapusBila ada kesempatan, tontonlah film ini wahai manusia! Apik pol!
Hapus