Sebagai seorang muslim
yang hidup berdekatan dengan seni menggambar, teks agama atau ceramah yang banyak
beredar dan menyatakan secara gamblang bahwa penggambar pasti masuk neraka dan
paling berat siksanya merupakan satu hal yang paling membuat hati menjadi gamang. Keadaan pun diperparah dengan ramainya perdebatan yang
seakan tanpa henti antara mereka yang ingin tetap menggambar meski harus
menepikan agama melawan kubu yang meyakini dalil tersebut secara tekstual.
Karena itu, kemunculan
komik ini seakan menjadi oase bagi saya dan mungkin banyak orang lain yang
memiliki kegelisahan yang sama. Sebelum membaca, sempat terbersit dalam benak bahwa Gambar Itu Haram? merupakan karya yang
dibuat untuk membungkam kelompok yang mengharamkan gambar. Ternyata saya
terlalu cepat membuat kesimpulan. Komik ini memiliki arti yang lebih dari itu.
Cover Gambar Itu Haram?
Gambar Itu Haram? adalah tugas akhir dalam bentuk komik yang dibuat
oleh Muhammad Zia-ul Haq, seorang aktivis dakwah dari Yogyakarta, dalam rangka
menyelesaikan pendidikannya di Institut Seni Indonesia. Komik ini dituturkan
dalam bentuk dialog antara karakter yang merupakan manifestasi Zia sendiri dengan karakter lain bernama Michi yang disusun dalam empat bab. Bab
pertama menjelaskan makna “menggambar” dalam bahasa arab yang digunakan dalam
dalil, yaitu tashwir yang ternyata
memiliki makna lebih luas dari sekedar menggambar. Bab kedua berisi mengenai
sejarah pemanfaatan tashwir dalam peradaban
Islam. Bab ketiga merupakan inti dari komik ini, yakni pembahasan mengenai dalil* dan fatwa* dari
ulama dan lembaga perihal tashwir. Selanjutnya
komik ini pun ditutup dengan kesimpulan.
Michi dan Zia
Seperti yang telah disampaikan sebelumnya, Gambar Itu Haram? tidak
dibuat untuk membungkam kelompok yang mengharamkan gambar. Meski secara halus
Zia cenderung berpihak pada fatwa yang membolehkan gambar, mengingat tugas
akhir ini dibuat dalam bentuk komik. Secara fair,
Zia menjabarkan kesepakatan ulama secara umum dari dalil mengenai tashwir, serta sejumlah fatwa yang pro maupun kontra dari berbagai pihak mulai dari mufti* skala internasional seperti Syaikh Yusuf Al-Qaradhawi dan Syaikh
Shalih Utsaimin, lembaga fatwa internasional seperti Darul Ifta di Mesir dan
Lajnah Daimah di Arab Saudi, lembaga fatwa nasional dan ormas seperti MUI,
Hizbut Tahrir, Muhammadiyah, dan Nahdhlatul Ulama, hingga ulama dengan latar
budaya Melayu yang dekat dengan kita seperti Ust. Azhar Idrus dan Ust. Idris
Sulaiman dari Malaysia serta Ust. Ahmad Hassan, Ust. Aris Munandar, Buya Yahya serta Ust. Ahmad Sarwat dari Indonesia.
Seakan sadar bahwa
masih ada sedikit kegamangan yang tersisa meski telah dijabarkan sejauh itu,
Zia pun menyempurnakan argumennya dengan elegan bahwa dalam kaidah ilmu fikih*,
yang ada bukanlah haq (sudah pasti
benar) dan batil (sudah jelas salah),
melainkan shawab (lebih bisa
diyakini) dan khata (kemungkinan
bisa salah), bahkan dalam kasus tertentu, meski terjadi perbedaan pendapat, boleh
jadi semuanya benar selama memiliki landasan yang kuat dan terpercaya.
Sayang, sebuah karya
baik bukan berarti sempurna tanpa cela. Walau hadir dengan sejumlah keunggulan,
saya merasa Gambar Itu Haram? sengaja
dirancang untuk orang yang sudah akrab dengan wawasan Islam sehingga cukup
sulit dipahami secara utuh oleh pembaca awam. Sepengetahuan saya, salah
satu kaidah terpenting dari penulisan sebuah karya tulis (terutama untuk tugas akhir
atau skripsi) adalah harus dibuat dengan persepsi awam agar mudah dipahami
khalayak luas. Seperti pada bab dua, Zia hanya fokus pada fragmen pemanfaatan
tashwir dalam periode sejarah tertentu seperti seni arabesque pada dinasti Umayyah, seni miniatur pada dinasti
Abbasiyah, atau seni wayang oleh Walisongo di Jawa. Orang yang tidak pernah
memelajari sejarah Islam tentu akan kebingungan lantaran kurangnya informasi.
Oleh karena itu, ada baiknya jika dijabarkan sedikit latar belakang masing-masing periode dengan menceritakan masa awal berdirinya periode tersebut serta pengenalan tokoh yang populer dan dianggap perlu. Selain itu, terdapat pula istilah
sulit seperti Liqaa Babil Maftuh dan
penyampaian argumen tanpa pengantar memadai seperti pada halaman 114 saat Zia
menyampaikan bahwa Muhammad Abduh mendukung fatwa Darul Ifta mengenai tashwir berupa peninggalan sejarah,
namun luput mengenalkan tokoh tersebut lebih dulu.
Meski
demikian, karena usahanya untuk muncul sebagai solusi alternatif dalam
mengakhiri perdebatan panjang perihal haramnya dalil menggambar, kita harus
mengakui bahwa Gambar Itu Haram?
merupakan salah satu karya penting dalam sejarah komik Indonesia. Karena saya
percaya, karya yang dibuat untuk menyelesaikan masalah dan menyampaikan
kebaikan, jauh lebih utama ketimbang sekedar bentuk ekspresi namun hampa akan
makna.
Tambahan :
Dalil : keterangan yang dijadikan bukti suatu kebenaran (misal ayat Alquran).
Fatwa : jawaban atas sebuah permasalahan yang diberikan oleh ahli agama.
Mufti : ahli agama yang memberikan fatwa.
Fikih : ilmu mengenai persoalan hukum agama yang mengatur aspek kehidupan manusia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar