Rabu, 13 Januari 2016

Tentang Walet Merah dan Perkembangan Zaman


Jujur, sebenarnya saya bukan seorang penggemar cergam Indonesia tulen yang benar-benar memahami belantika cergam Indonesia seutuhnya. Saya cuma seorang anak muda yang belum lama dan baru saja mulai mencoba mencintai karya bangsanya. Oleh karena itu, izinkanlah saya mengapresiasi cergam yang belum lama saya baca, Walet Merah, karya legendaris ciptaan Pak Hans Jaladara, cergamis senior negeri ini yang telah banyak membuahkan karya luar biasa sejak terbitnya Pandji Tengkorak pada tahun 1968 silam. Dalam tulisan ini, saya sengaja mengganti istilah komik, dengan kata cergam, mengingat karya Pak Hans mulai dilahirkan sejak periode 1960an dimana istilah cergam digunakan untuk menyebut komik Indonesia secara khusus.

Perkenalan pertama saya dengan karya Pak Hans terjadi beberapa tahun yang lalu. Saat saya membaca salah satu cergam terbarunya, Intan Permata Rimba yang diterbitkan penerbit Koloni pada tahun 2010. Perkenalan pertama yang membekas itu membawa alam penasaran saya untuk mencari tahu (dan berburu) lebih banyak cergam legendaris karya maestro cergam Indonesia di masa lampau. Setelah sekian lama, akhirnya saya baru ditakdirkan untuk bertemu Walet Merah terbitan Elex Media Komputindo tahun 2004 yang merupakan versi lukis ulang dari versi aslinya yang diterbitkan pada tahun 1969 pada 10 Januari 2016 di sebuah toko buku kecil di Yogyakarta.


Walet Merah bercerita mengenai perjalanan Warti, seorang pendekar perempuan muda dalam mencari Panji Tengkorak yang telah menghilang dari dunia persilatan selama bertahun-tahun dan meninggalkan kekasihnya, Mariani yang merupakan kakak Warti. Dari segi cerita, menurut saya Pak Hans sangat piawai membawakannya sebagai sebuah kisah petualangan dramatik dengan alur berliku-liku yang kompleks namun tetap runut dan masuk akal. Selain itu, keterkaitan antar tokoh utama di masa lalu yang tidak terduga dan proses perkembangan karakter Warti dari seorang gadis muda yang ceroboh dan naif menjadi sosok pendekar wanita dewasa yang tangguh sungguh menarik untuk diikuti dan menambah pesona cerita Walet Merah.

Berbanding terbalik dengan cerita, sayangnya gaya gambar yang digunakan Pak Hans menjadi paradoks dalam serial ini. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, cergam Walet Merah terbitan Elex Media Komputindo merupakan karya lukis ulang dari versi aslinya. Versi lukis ulang ini dibuat menggunakan pendekatan cergam ala Jepang atau manga sehingga membuat gaya gambar Pak Hans yang sebelumnya lebih detail karena menggunakan pendekatan realis (seperti yang saya baca pada disertasi Pak Seno Gumira Ajidarma, Panji Tengkorak : Kebudayaan Dalam Perbincanganmenjadi terasa lebih komikal dan jenaka. Saya tidak mengetahui alasan mengapa Pak Hans mengubah gaya gambarnya, yang pasti, saat Walet Merah versi lukis ulang diterbitkan di tahun 2004, manga terjemahan memang menjadi primadona yang mendominasi pasar di Indonesia.

Secara pribadi, saya merasa kecewa dengan pendekatan ala manga yang diterapkan pada Walet Merah. Pasalnya, penyederhanaan gambar lewat pendekatan ala manga yang dilakukan malah banyak adegan yang seharusnya memiliki nuansa serius dan benar-benar berkesan dramatik malah menjadi lucu dan jenaka. Sayangnya, saya tidak memiliki satu pun serial Walet Merah versi cetakan asli sehingga cukup sulit melakukan perbandingan dengan versi lukis ulang. Untunglah, pada kata pengantar yang terdapat dalam serial Intan Permata Rimba jilid pertama yang ditulis Pak Seno Gumira Ajidarma, terdapat satu potongan halaman dari Walet Merah versi cetakan awal  saat terjadi pertarungan antara Warti dengan penyerang misterius di lengan patung Dewa Bulan. Pada versi cetakan awal, adegan pertarungan benar-benar disajikan dengan apik lewat nuansa hitam-putih yang memberi kesan serius dan mencekam seperti pada gambar berikut.

Namun, pada versi lukis ulang yang menggunakan pendekatan ala manga, adegan pertarungan yang diberi nuansa kelabu justru menjadi tampak jenaka. Bisa dilihat dari tokoh penyerang misterius yang sebenarnya memiliki ilmu silat tinggi tapi malah mendapat visualisasi lucu seperti dalam komik humor.


Untuk karya-karya Pak Hans berikutnya seperti Malaikat Pedang Buntung (Sequen, 2006) dan Intan Permata Rimba (Koloni, 2010), sebagai pembaca saya bisa bernafas lega, seakan kembali menahbiskan dirinya sebagai salah seorang maestro cergam silat, Pak Hans mengeksplorasi goresan gambarnya menjadi lebih baik lagi ketimbang sebelumnya. Karena itu, meski tetap menggunakan pendekatan ala manga, penyederhanaan gambar yang dilakukan tidak sampai seperti Walet Merah versi lukis ulang sehingga tetap bisa mengangkat kesan dramatik yang bersumber dari kompleksitas cerita khas Pak Hans meski tidak sedrastis karya beliau di era 1960an.


Saya berspekulasi Pak Hans mempertahankan pendekatan ala manga agar karya-karyanya juga bisa dinikmati generasi muda yang sekitar lebih dari dua dekade memang lebih menyukai cergam ala Jepang alias manga yang telah mendominasi pasar cergam lokal sejak 1990an. Sebelumnya, saya minta maaf apabila ada bagian dari tulisan saya yang kurang berkenan, karena penilaian ini saya berikan memang berdasarkan subjektivitas pribadi. Oleh karena itu, saran dan kritik amat saya perlukan untuk perbaikan kwalitas tulisan saya ke depan.  Akhir kata, semoga tulisan ini dapat bermanfaat.

2 komentar: