Jujur, sebenarnya saya bukan seorang penggemar cergam Indonesia tulen yang benar-benar memahami
belantika cergam Indonesia seutuhnya. Saya cuma seorang anak muda yang belum lama dan baru saja mulai
mencoba mencintai karya bangsanya. Oleh karena itu, izinkanlah saya mengapresiasi cergam yang belum lama saya baca, Walet Merah, karya legendaris ciptaan Pak
Hans Jaladara, cergamis senior negeri ini yang telah banyak membuahkan karya
luar biasa sejak terbitnya Pandji
Tengkorak pada tahun 1968 silam. Dalam tulisan ini, saya sengaja mengganti istilah komik, dengan kata cergam, mengingat karya Pak Hans mulai dilahirkan sejak periode
1960an dimana istilah cergam digunakan
untuk menyebut komik Indonesia secara khusus.
Perkenalan
pertama saya dengan karya Pak Hans terjadi beberapa tahun yang lalu. Saat saya
membaca salah satu cergam terbarunya,
Intan Permata Rimba yang diterbitkan penerbit Koloni pada tahun 2010.
Perkenalan pertama yang membekas itu membawa alam penasaran saya untuk mencari
tahu (dan berburu) lebih banyak cergam legendaris karya maestro cergam
Indonesia di masa lampau. Setelah sekian lama, akhirnya saya baru ditakdirkan untuk
bertemu Walet Merah terbitan Elex
Media Komputindo tahun 2004 yang merupakan versi lukis ulang dari versi aslinya
yang diterbitkan pada tahun 1969 pada 10 Januari
2016 di sebuah toko buku kecil di Yogyakarta.
Walet Merah bercerita
mengenai perjalanan Warti, seorang pendekar perempuan muda dalam mencari Panji
Tengkorak yang telah menghilang dari dunia
persilatan selama bertahun-tahun dan meninggalkan kekasihnya, Mariani yang merupakan kakak Warti. Dari segi cerita, menurut saya Pak Hans
sangat piawai membawakannya sebagai sebuah kisah petualangan dramatik dengan
alur berliku-liku yang kompleks namun tetap runut dan masuk akal. Selain itu, keterkaitan
antar tokoh utama di masa lalu yang tidak terduga dan proses perkembangan karakter
Warti dari seorang gadis muda yang ceroboh dan naif menjadi sosok pendekar
wanita dewasa yang tangguh sungguh menarik untuk diikuti dan menambah pesona
cerita Walet Merah.
Berbanding
terbalik dengan cerita, sayangnya gaya gambar yang digunakan Pak Hans menjadi paradoks
dalam serial ini. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, cergam Walet Merah terbitan Elex Media
Komputindo merupakan karya lukis ulang dari versi aslinya. Versi lukis ulang
ini dibuat menggunakan pendekatan cergam ala Jepang atau manga sehingga membuat gaya gambar Pak Hans yang sebelumnya lebih
detail karena menggunakan pendekatan realis (seperti yang saya baca pada disertasi Pak Seno Gumira Ajidarma, Panji Tengkorak : Kebudayaan Dalam Perbincangan) menjadi terasa lebih komikal dan jenaka. Saya
tidak mengetahui alasan mengapa Pak Hans mengubah gaya gambarnya, yang pasti,
saat Walet Merah versi lukis ulang
diterbitkan di tahun 2004, manga terjemahan
memang menjadi primadona yang mendominasi pasar di Indonesia.
Secara
pribadi, saya merasa kecewa dengan pendekatan ala manga yang diterapkan pada Walet
Merah. Pasalnya, penyederhanaan gambar lewat pendekatan ala manga yang dilakukan malah banyak adegan yang seharusnya memiliki nuansa serius dan
benar-benar berkesan dramatik malah menjadi lucu dan jenaka. Sayangnya, saya
tidak memiliki satu pun serial Walet
Merah versi cetakan asli sehingga cukup sulit melakukan perbandingan dengan
versi lukis ulang. Untunglah, pada kata pengantar yang terdapat dalam serial Intan Permata Rimba jilid pertama yang
ditulis Pak Seno Gumira Ajidarma, terdapat satu potongan halaman dari Walet Merah versi cetakan awal saat terjadi pertarungan antara Warti dengan
penyerang misterius di lengan patung Dewa Bulan. Pada versi cetakan awal,
adegan pertarungan benar-benar disajikan dengan apik lewat nuansa hitam-putih
yang memberi kesan serius dan mencekam seperti pada gambar berikut.
Namun,
pada versi lukis ulang yang menggunakan pendekatan ala manga, adegan pertarungan yang diberi nuansa kelabu justru menjadi
tampak jenaka. Bisa dilihat dari tokoh penyerang misterius yang sebenarnya
memiliki ilmu silat tinggi tapi malah mendapat visualisasi lucu seperti dalam komik
humor.
Untuk
karya-karya Pak Hans berikutnya seperti Malaikat
Pedang Buntung (Sequen, 2006) dan Intan
Permata Rimba (Koloni, 2010), sebagai pembaca saya bisa bernafas lega,
seakan kembali menahbiskan dirinya sebagai salah seorang maestro cergam silat,
Pak Hans mengeksplorasi goresan gambarnya menjadi lebih baik lagi ketimbang
sebelumnya. Karena itu, meski tetap menggunakan pendekatan ala manga, penyederhanaan gambar yang
dilakukan tidak sampai seperti Walet
Merah versi lukis ulang sehingga tetap bisa mengangkat kesan dramatik yang
bersumber dari kompleksitas cerita khas Pak Hans meski tidak sedrastis karya
beliau di era 1960an.
Saya
berspekulasi Pak Hans mempertahankan pendekatan ala manga agar karya-karyanya juga bisa dinikmati generasi muda yang
sekitar lebih dari dua dekade memang lebih menyukai cergam ala Jepang alias manga yang telah mendominasi pasar
cergam lokal sejak 1990an. Sebelumnya, saya minta maaf apabila ada bagian dari tulisan saya yang kurang berkenan, karena penilaian ini saya berikan memang berdasarkan subjektivitas pribadi. Oleh karena itu, saran dan kritik amat saya perlukan untuk perbaikan kwalitas tulisan saya ke depan. Akhir kata, semoga tulisan ini dapat bermanfaat.
Waaah, Tamam... akhirnya ngepost lagi di blog. wkwk
BalasHapusBiar skill nulisnya gak karatan, kaks. Hehehe~
Hapus