Di
masa orde lama, orang-orang tua dan aktivis di bidang pendidikan banyak yang menganggap
komik sebagai biang keladi penyebab kerusakan moral anak muda. Mereka menolak
dan berusaha agar komik tidak bisa lagi diterbitkan di Indonesia. Usaha mereka
memang tidak sepenuhnya berhasil, namun, penerbitan komik sempat mengalami
kesulitan karena setiap komik yang beredar harus mendapat izin berupa cap dari
kepolisian.
Kini,
meskipun masih ada orang-orang yang masih berpikiran seperti demikian, komik
sudah bisa diterima oleh banyak kalangan. Hal ini mungkin terjadi karena
semakin banyak komik yang dibuat dengan tujuan pendidikan seperti komik wayang
dan mencapai puncaknya saat komik religi menguasai pasar kaum agamais pada
periode 1990-an yang banyak dijual di serambi masjid atau madrasah. Komik
religi dibuat dengan berbagai macam jenis cerita seperti komik surga-neraka,
komik dongeng 1001 malam, dan komik tokoh-tokoh agama.
Beberapa
hari belakangan, saya mendapat sebuah komik religi yang menarik berjudul Bengkel Buya. Pada awalnya, karena membaca
nama seorang tokoh besar Muhammadiyah, Ahmad Syafii Maarif, pada bagian sampul,
membuat saya berpikir bahwa ini adalah komik biografi sang tokoh. Ternyata saya
salah. Komik yang diangkat dari tulisan Sang Buya di koran Republika tersebut
justru menceritakan pengalaman beliau saat bertemu dengan banyak orang dalam
kesehariannya.
Mengambil
tema “Belajar dari Kearifan Wong Cilik”,
Buya Syafii Maarif berkisah mengenai kebijaksanaan dan hikmah dari orang-orang
yang berada di sekitar kita, mulai dari montir bengkel, sopir taksi, marbot
masjid, dan lain-lain. Melalui komik ini, Buya seakan menjelaskan bahwa
keteladanan tidak menjadi hak prerogatif seorang tokoh besar, melainkan juga
sesuatu yang dimiliki oleh wong cilik.
Secara pribadi, saya merasa terkesan dengan kehadiran komik ini. Mungkin kesan
itu timbul karena saat ini saya tinggal di kota yang menjadi setting dalam
komik ini, Yogyakarta. Saya mengenal Masjid Syuhada yang marbotnya menjadi
salah satu tokoh utama pada salah satu bab, saya pun sering mendengar kisah
mengenai gempa yang melanda Yogyakarta pada 2006 yang menjadi latar waktu pada
bab yang lain. Kedekatan itulah yang membuat saya tambah meyakini bahwa
kisah-kisah dalam komik ini benar-benar nyata dan menambah perenungan saya
bahwa meskipun banyak peristiwa buruk terjadi akibat kejahatan segelintir manusia,
namun masih banyak orang yang memiliki akhlak mulia dan nilai kemanusiaan dalam
dirinya.
Barangkali
karena ingin mengenalkan tokoh-tokoh sejarah kepada khalayak umum, tim komikus
menggambar sejumlah tokoh yang muncul seperti Sri Sultan Hamengkubuwono IX, KH.
Wahid Hasyim, Ir. Soekarno, Drs. Mohammad Hatta, dan pastinya Buya Syafii
Maarif sendiri dengan gaya gambar yang detail. Berbanding terbalik dengan para
tokoh, sayangnya banyak karakter figuran yang muncul justru hanya digambar dengan
gaya yang sederhana dan cenderung komikal. Meski tidak berpengaruh pada cerita, perbedaan
gaya gambar yang timpang ini cukup mengurangi kenyamanan saya dalam menikmati
komik ini. Tentu saja, karena mengandung hikmah yang bermanfaat bagi pembaca, saya berharap bila kelak akan muncul kembali komik semacam Bengkel Buya ini, bisa digarap secara
lebih maksimal dan lebih baik lagi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar