Sabtu, 20 Februari 2016

Tentang Tan yang Meratap di Tengah Malam

“Ya Allah . .”
 Malam itu, terdengar suara isak tangis yang amat pilu dari sebuah gubuk reot di pinggiran desa. Suasana pada saat itu memang sungguh kelam. Cahaya sang rembulan yang biasanya hadir lembut menenangkan pun tidak nampak karena dicengkeram kungkungan awan hitam. Awan tersebut tebal dan bergulung, menutup semua sumber cahaya malam. Sementara itu, binatang malam yang hidup di sekitar gubuk pun enggan bersuara dan memilih berdiam dalam kesunyian. Boleh jadi, alam sekitar sedang bersimpati pada pria itu. Pria yang sedang tenggelam dan hanyut dalam isak tangisnya sendiri. Perlahan-lahan, isak tangisnya menjadi semakin dahsyat. Badannya mulai bergetar hebat. Punggungnya basah oleh peluh yang mengucur sedari tadi. Sungguh, tidak terbayang beratnya beban dan cobaan yang tertanggung pada pundak pria tersebut.
 Pria dalam gubuk itu dikenal penduduk desa sebagai Ilyas Hussein, seorang Kepala Badan Pengurus Romusha yang sangat pintar dan baik hatinya. Ia kerap menggunakan gajinya untuk membeli makanan yang diberikannya kepada para romusha.  Romusha yang dipekerjakan untuk menambang batubara di Banten itu memang tidak jarang menderita sakit dan kelaparan karena kurangnya makanan dan buruknya fasilitas yang disediakan oleh tentara Dai Nippon.

Kini, pengurus romusha yang biasanya tampak gagah dan jago silek itu sedang tersungkur pilu, bersujud sembari meratap guna menghadap Tuhannya di atas kain lusuh yang biasa dipakai sebagai sajadah. Baginya, malam yang gelap sempurna itu benar-benar waktu tepat untuk menumpahkan segala keluh kesahnya yang membuncah sejak lama di dalam dada. Meski banyak yang mengenalnya sebagai salah seorang tokoh komunis internasional yang menjadi buruan seantero dunia, Hussein tetaplah orang Minang yang hapal Quran dan paham agama. Baginya, tidak ada yang bisa lebih dipercaya untuk mengadu selain Tuhan yang maha kuasa.
 “Ya Allah . .”
Masalah yang paling menjadi bahan pikiran adalah persoalan mengenai persatuan dalam perjuangan. Pada Kongres Komunis Internasional keempat di Moskow pada tahun 1922, dia menyerukan agar kongres mendukung perjuangan Pan Islamisme di bawah naungan Sarekat Islam di Hindia Belanda. Dalam komunisme yang dia yakini, tidak ada pembagian kelas antar manusia, sama rata sama rasa. Islam pun menilai setiap manusia adalah sama di mata Tuhan. Tidak ada perbedaan kasta bagi seluruh umat manusia, hanya perkara iman dan takwa yang membedakannya di hadapan Tuhan. Hal ini disebabkan adanya pernyataan dari kongres sebelumnya yang menyatakan perlunya kaum komunis melawan Pan Islamisme dan menganggapnya sebagai ancaman yang perlu ditumbangkan. Duhai, bila mau direnungkan secara lebih mendalam, bukankah kurang lebih perjuangan Pan Islamisme tidak jauh berbeda dengan apa yang diperjuangkan oleh kaum komunis di dunia ini? Sama-sama berjuang melawan segala bentuk imperialisme dan menegakkan hak dan derajat kaum miskin dan terbelakang.
Kendati mendapat tepuk tangan yang meriah dari peserta kongres, gagasannya tidak mendapat dukungan. Pun di tanah air, konflik antara kelompok muslim dan kelompok komunis dalam Sarekat Islam justru kian meruncing dan akhirnya pecah menjadi dua kubu, Sarekat Putih dipimpin Agus Salim dan Sarekat Merah dipimpin oleh Semaoen. Konflik ini kian memanas hingga pada akhirnya diberlakukan disiplin partai yang mengakibatkan dikeluarkannya orang-orang berhaluan merah dari Sarekat Islam dan menempuh jalannya sendiri dengan membentuk Partai Komunis Indonesia.
Duh, betapa pedih rasanya melihat perpecahan di antara bangsa sendiri. Padahal, jikalau kedua belah kubu mau menurunkan egonya sedikit saja, maka perjuangan bisa ditempuh dengan jalan yang lebih mudah. Lagipula, bukankah musuh yang harus mereka lawan adalah pihak sama? Yakni kaum Imperialis barat yang menjajah dan menyesap sumber daya alam di Nusantara secara zalim? Kenapa pula sesama bangsa sendiri harus saling bertikai?
“Ya Allaah . . “
Malam semakin larut. Isak tangis pria tersebut tidak kunjung reda. Selain perkara persatuan bangsa, ada hal lain yang juga mengusik rasa kemanusiaan dalam hatinya. Pasalnya, beberapa hari sebelumnya terjadi peristiwa yang membuatnya hatinya amat terluka.  Soekarno, seorang tokoh pemimpin kharismatik di kalangan bangsa Hindia saat itu, sedang datang berkunjung. Sebagai seorang Kepala Badan Pengurus Romusha yang mengurusi keperluan para romusha, tentu dia amat berharap kedatangan Soekarno dapat menunjukkan jalan terang bagi nasib para romusha yang nasibnya kian nestapa dari hari ke hari. Tentu saja, Hussein bekerja di bidang ini bukan karena mengharap bayaran semata, melainkan dorongan hati untuk mempengaruhi kebijakan Dai Nippon
demi kehidupan para romusha yang lebih sejahtera. Saat itu, para romusha hanya mendapat upah 250 gram beras dan uang 40 sen tiap harinya, kala itu, uang 40 sen hanya cukup untuk membeli satu buah pisang. Bisa dibayangkan bagaimana kurangnya gizi yang seharusnya mereka asup. Selain itu, mereka pun ditempatkan di barak dengan fasilitas yang tidak memadai kebersihan dan kelayakannya. Akibatnya, banyak yang terkena penyakit diare, malaria, dan berbagai macam penyakit lainnya. Apabila tidak bekerja, para romusha tidak mendapat upah. Oleh karena itu, banyak romusha yang memaksakan bekerja meski dalam kondisi sakit agar tetap bisa membeli mak. Sayangnya, hal tersebut justru menyebabkan banyak di antara mereka malah meregang nyawa.
Karena sering melihat kondisi romusha yang sedemikian parahnya, tidak heran Hussein menjadi berang saat mendengar Soekarno berpidato bahwa bangsa Indonesia harus berterima kasih dan mendukung Dai Nippon dalam Perang Asia Timur Raya karena jasanya mengusir Belanda. Pada awalnya, dia hanya mempertanyakan alasan konkrit dalam memberikan dukungan pada Dai Nippon, karena pada kenyataannya, tidaklah berbeda perlakuan Belanda dan Dai Nippon dalam menghisap sumber daya alam Nusantara. Sama-sama menghisap secara zalim. Sama-sama penjajah!
Sayangnya, Soekarno hanya menjawab sekadarnya saja dan tidak terlalu mempedulikan pertanyaan Hussein. Melihat sikap Soekarno yang seperti itu, hampir saja Hussein mendebat Soekarno lebih panjang. Namun, Hussein keburu dihentikan oleh panitia karena situasi dirasa menjadi tidak kondusif dan Soekarno tampak jengkel dengan perlakuan yang dirasa kurang layak pada pemimpin besar seperti dirinya. Hussein benar-benar geram bukan kepalang. Menurutnya, tokoh sekaliber Soekarno barangkali terlalu banyak dihormati orang sehingga tidak biasa saat ada yang melawan pendapatnya. Sayangnya, waktu itu Soekarno tidak tahu, orang yang hampir mendebatnya adalah penulis buku Naar de Republiek, buku yang menjadi pedoman dan sumber inspirasi banyak aktivis pergerakan nasional dalam mewujudkan kemerdekaan, termasuk Soekarno sendiri.
Hussein sungguh menyesali dan amat menyayangkan tindakan pemimpin bangsa satu itu. Baginya, kemerdekaan harus diraih dan diperjuangkan oleh darah dan keringat sendiri tanpa ikut campur bangsa asing. Kemerdekaan 100% adalah hasil dari perjuangan rakyat dan bukan hadiah dari penjajah. Dia benar-benar tidak menyenangi sikap Soekarno yang baginya seperti seorang penjilat pada Dai Nippon. Dia sendiri amat muak pada Dai Nippon yang banyak membuat banyak saudara sebangsanya mati meregang nyawa hanya untuk diperas tenaganya demi peperangan tanpa makna yang penuh pertumpahan darah.
 Hussein kembali hanyut dan khusuk dalam sujudnya kepada Tuhan. Kali ini dia berhenti meratap seraya berdoa semoga bangsanya bisa menjadi bangsa yang benar-benar memahami makna atas persatuan dan kemandirian. Baginya, bangsa yang bersatu dan bebas dari intervensi asing adalah syarat mutlak dari kemerdekaan 100%. Tidak ada kemerdekaan sebuah negara yang lebih hakiki selain dari kemampuan bangsanya untuk berdiri di atas kaki sendiri.
Tidak berapa lama kemudian, Hussein tertidur dan tersungkur dari sujudnya karena teramat lelah. Dalam tidurnya, perlahan-lahan wajahnya mulai menyunggingkan senyum. Sepertinya ada kepuasan yang tiada terperi setelah bermunajat pada Tuhan semalam suntuk. Ya, harapan akan selalu ada. Dalam kitab suci, telah termaktub janji Tuhan bahwa selama suatu kaum mau untuk berusaha menjadi lebih baik, pasti Tuhan tidak akan sungkan untuk ikut turun tangan. Kini, orang yang dikenal penduduk desa sebagai Ilyas Hussein atau jauh lebih tersohor dengan nama aslinya, Ibrahim Datuk Tan Malaka itu tertidur lelap.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar