“Ya Allah . .”
Malam itu, terdengar suara isak tangis yang
amat pilu dari sebuah gubuk reot di pinggiran desa. Suasana pada saat itu
memang sungguh kelam. Cahaya sang rembulan yang biasanya hadir lembut
menenangkan pun tidak nampak karena dicengkeram kungkungan awan hitam. Awan
tersebut tebal dan bergulung, menutup semua sumber cahaya malam. Sementara itu,
binatang malam yang hidup di sekitar gubuk pun enggan bersuara dan memilih
berdiam dalam kesunyian. Boleh jadi, alam sekitar sedang bersimpati pada pria itu.
Pria yang sedang tenggelam dan hanyut dalam isak tangisnya sendiri. Perlahan-lahan,
isak tangisnya menjadi semakin dahsyat. Badannya mulai bergetar hebat.
Punggungnya basah oleh peluh yang mengucur sedari tadi. Sungguh, tidak
terbayang beratnya beban dan cobaan yang tertanggung pada pundak pria tersebut.
Pria dalam gubuk itu dikenal penduduk desa
sebagai Ilyas Hussein, seorang Kepala Badan Pengurus Romusha yang sangat pintar dan baik hatinya. Ia kerap menggunakan
gajinya untuk membeli makanan yang diberikannya kepada para romusha. Romusha yang dipekerjakan untuk menambang
batubara di Banten itu memang tidak jarang menderita sakit dan kelaparan karena
kurangnya makanan dan buruknya fasilitas yang disediakan oleh tentara Dai Nippon.
Kini, pengurus romusha yang biasanya tampak gagah dan
jago silek itu sedang tersungkur pilu, bersujud sembari meratap guna menghadap
Tuhannya di atas kain lusuh yang biasa dipakai sebagai sajadah. Baginya, malam yang
gelap sempurna itu benar-benar waktu tepat untuk menumpahkan segala keluh kesahnya
yang membuncah sejak lama di dalam dada. Meski banyak yang mengenalnya sebagai
salah seorang tokoh komunis internasional yang menjadi buruan seantero dunia,
Hussein tetaplah orang Minang yang hapal Quran dan paham agama. Baginya, tidak
ada yang bisa lebih dipercaya untuk mengadu selain Tuhan yang maha kuasa.
“Ya Allah . .”
Masalah yang paling menjadi
bahan pikiran adalah persoalan mengenai persatuan dalam perjuangan. Pada
Kongres Komunis Internasional keempat di Moskow pada tahun 1922, dia menyerukan
agar kongres mendukung perjuangan Pan Islamisme di bawah naungan Sarekat Islam
di Hindia Belanda. Dalam komunisme yang dia yakini, tidak ada pembagian kelas
antar manusia, sama rata sama rasa. Islam pun menilai setiap manusia adalah
sama di mata Tuhan. Tidak ada perbedaan kasta bagi seluruh umat manusia, hanya
perkara iman dan takwa yang membedakannya di hadapan Tuhan. Hal ini disebabkan
adanya pernyataan dari kongres sebelumnya yang menyatakan perlunya kaum komunis
melawan Pan Islamisme dan menganggapnya sebagai ancaman yang perlu ditumbangkan.
Duhai, bila mau direnungkan secara lebih mendalam, bukankah kurang lebih
perjuangan Pan Islamisme tidak jauh berbeda dengan apa yang diperjuangkan oleh
kaum komunis di dunia ini? Sama-sama berjuang melawan segala bentuk
imperialisme dan menegakkan hak dan derajat kaum miskin dan terbelakang.
Kendati mendapat tepuk
tangan yang meriah dari peserta kongres, gagasannya tidak mendapat dukungan.
Pun di tanah air, konflik antara kelompok muslim dan kelompok komunis dalam
Sarekat Islam justru kian meruncing dan akhirnya pecah menjadi dua kubu,
Sarekat Putih dipimpin Agus Salim dan Sarekat Merah dipimpin oleh Semaoen.
Konflik ini kian memanas hingga pada akhirnya diberlakukan disiplin partai yang
mengakibatkan dikeluarkannya orang-orang berhaluan merah dari Sarekat Islam dan
menempuh jalannya sendiri dengan membentuk Partai Komunis Indonesia.
Duh, betapa pedih
rasanya melihat perpecahan di antara bangsa sendiri. Padahal, jikalau kedua
belah kubu mau menurunkan egonya sedikit saja, maka perjuangan bisa ditempuh
dengan jalan yang lebih mudah. Lagipula, bukankah musuh yang harus mereka lawan
adalah pihak sama? Yakni kaum Imperialis barat yang menjajah dan menyesap sumber
daya alam di Nusantara secara zalim? Kenapa pula sesama bangsa sendiri harus
saling bertikai?
“Ya Allaah . . “
Malam semakin larut.
Isak tangis pria tersebut tidak kunjung reda. Selain perkara persatuan bangsa, ada
hal lain yang juga mengusik rasa kemanusiaan dalam hatinya. Pasalnya, beberapa
hari sebelumnya terjadi peristiwa yang membuatnya hatinya amat terluka. Soekarno, seorang tokoh pemimpin kharismatik
di kalangan bangsa Hindia saat itu, sedang datang berkunjung. Sebagai seorang
Kepala Badan Pengurus Romusha yang
mengurusi keperluan para romusha,
tentu dia amat berharap kedatangan Soekarno dapat menunjukkan jalan terang bagi
nasib para romusha yang nasibnya kian
nestapa dari hari ke hari. Tentu saja, Hussein bekerja di bidang ini bukan
karena mengharap bayaran semata, melainkan dorongan hati untuk mempengaruhi
kebijakan Dai Nippon
demi kehidupan para romusha yang lebih sejahtera. Saat itu, para romusha hanya mendapat upah 250 gram beras dan uang 40 sen tiap harinya, kala itu, uang 40 sen hanya cukup untuk membeli satu buah pisang. Bisa dibayangkan bagaimana kurangnya gizi yang seharusnya mereka asup. Selain itu, mereka pun ditempatkan di barak dengan fasilitas yang tidak memadai kebersihan dan kelayakannya. Akibatnya, banyak yang terkena penyakit diare, malaria, dan berbagai macam penyakit lainnya. Apabila tidak bekerja, para romusha tidak mendapat upah. Oleh karena itu, banyak romusha yang memaksakan bekerja meski dalam kondisi sakit agar tetap bisa membeli mak. Sayangnya, hal tersebut justru menyebabkan banyak di antara mereka malah meregang nyawa.
demi kehidupan para romusha yang lebih sejahtera. Saat itu, para romusha hanya mendapat upah 250 gram beras dan uang 40 sen tiap harinya, kala itu, uang 40 sen hanya cukup untuk membeli satu buah pisang. Bisa dibayangkan bagaimana kurangnya gizi yang seharusnya mereka asup. Selain itu, mereka pun ditempatkan di barak dengan fasilitas yang tidak memadai kebersihan dan kelayakannya. Akibatnya, banyak yang terkena penyakit diare, malaria, dan berbagai macam penyakit lainnya. Apabila tidak bekerja, para romusha tidak mendapat upah. Oleh karena itu, banyak romusha yang memaksakan bekerja meski dalam kondisi sakit agar tetap bisa membeli mak. Sayangnya, hal tersebut justru menyebabkan banyak di antara mereka malah meregang nyawa.
Karena sering melihat
kondisi romusha yang sedemikian
parahnya, tidak heran Hussein menjadi berang saat mendengar Soekarno berpidato
bahwa bangsa Indonesia harus berterima kasih dan mendukung Dai Nippon dalam Perang Asia Timur Raya karena jasanya mengusir
Belanda. Pada awalnya, dia hanya mempertanyakan alasan konkrit dalam memberikan
dukungan pada Dai Nippon, karena pada
kenyataannya, tidaklah berbeda perlakuan Belanda dan Dai Nippon dalam menghisap sumber daya alam Nusantara. Sama-sama
menghisap secara zalim. Sama-sama penjajah!
Sayangnya, Soekarno
hanya menjawab sekadarnya saja dan tidak terlalu mempedulikan pertanyaan
Hussein. Melihat sikap Soekarno yang seperti itu, hampir saja Hussein mendebat
Soekarno lebih panjang. Namun, Hussein keburu dihentikan oleh panitia karena situasi
dirasa menjadi tidak kondusif dan Soekarno tampak jengkel dengan perlakuan yang
dirasa kurang layak pada pemimpin besar seperti dirinya. Hussein benar-benar
geram bukan kepalang. Menurutnya, tokoh sekaliber Soekarno barangkali terlalu
banyak dihormati orang sehingga tidak biasa saat ada yang melawan pendapatnya.
Sayangnya, waktu itu Soekarno tidak tahu, orang yang hampir mendebatnya adalah
penulis buku Naar de Republiek, buku
yang menjadi pedoman dan sumber inspirasi banyak aktivis pergerakan nasional
dalam mewujudkan kemerdekaan, termasuk Soekarno sendiri.
Hussein sungguh
menyesali dan amat menyayangkan tindakan pemimpin bangsa satu itu. Baginya,
kemerdekaan harus diraih dan diperjuangkan oleh darah dan keringat sendiri
tanpa ikut campur bangsa asing. Kemerdekaan 100% adalah hasil dari perjuangan
rakyat dan bukan hadiah dari penjajah. Dia benar-benar tidak menyenangi sikap Soekarno
yang baginya seperti seorang penjilat pada Dai
Nippon. Dia sendiri amat muak pada Dai
Nippon yang banyak membuat banyak saudara sebangsanya mati meregang nyawa
hanya untuk diperas tenaganya demi peperangan tanpa makna yang penuh
pertumpahan darah.
Hussein kembali hanyut dan khusuk dalam
sujudnya kepada Tuhan. Kali ini dia berhenti meratap seraya berdoa semoga
bangsanya bisa menjadi bangsa yang benar-benar memahami makna atas persatuan dan
kemandirian. Baginya, bangsa yang bersatu dan bebas dari intervensi asing
adalah syarat mutlak dari kemerdekaan 100%. Tidak ada kemerdekaan sebuah negara
yang lebih hakiki selain dari kemampuan bangsanya untuk berdiri di atas kaki
sendiri.
Tidak berapa lama
kemudian, Hussein tertidur dan tersungkur dari sujudnya karena teramat lelah. Dalam
tidurnya, perlahan-lahan wajahnya mulai menyunggingkan senyum. Sepertinya ada
kepuasan yang tiada terperi setelah bermunajat pada Tuhan semalam suntuk. Ya,
harapan akan selalu ada. Dalam kitab suci, telah termaktub janji Tuhan bahwa
selama suatu kaum mau untuk berusaha menjadi lebih baik, pasti Tuhan tidak akan
sungkan untuk ikut turun tangan. Kini, orang yang dikenal penduduk desa sebagai
Ilyas Hussein atau jauh lebih tersohor dengan nama aslinya, Ibrahim Datuk Tan
Malaka itu tertidur lelap.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar