“Ya Allah . .”
Malam itu, terdengar suara isak tangis yang
amat pilu dari sebuah gubuk reot di pinggiran desa. Suasana pada saat itu
memang sungguh kelam. Cahaya sang rembulan yang biasanya hadir lembut
menenangkan pun tidak nampak karena dicengkeram kungkungan awan hitam. Awan
tersebut tebal dan bergulung, menutup semua sumber cahaya malam. Sementara itu,
binatang malam yang hidup di sekitar gubuk pun enggan bersuara dan memilih
berdiam dalam kesunyian. Boleh jadi, alam sekitar sedang bersimpati pada pria itu.
Pria yang sedang tenggelam dan hanyut dalam isak tangisnya sendiri. Perlahan-lahan,
isak tangisnya menjadi semakin dahsyat. Badannya mulai bergetar hebat.
Punggungnya basah oleh peluh yang mengucur sedari tadi. Sungguh, tidak
terbayang beratnya beban dan cobaan yang tertanggung pada pundak pria tersebut.
Pria dalam gubuk itu dikenal penduduk desa
sebagai Ilyas Hussein, seorang Kepala Badan Pengurus Romusha yang sangat pintar dan baik hatinya. Ia kerap menggunakan
gajinya untuk membeli makanan yang diberikannya kepada para romusha. Romusha yang dipekerjakan untuk menambang
batubara di Banten itu memang tidak jarang menderita sakit dan kelaparan karena
kurangnya makanan dan buruknya fasilitas yang disediakan oleh tentara Dai Nippon.