Rabu, 22 Juni 2016

Betawi Bukan Sekedar Pitung dan Jampang

Tradisi maen pukulan memang telah mengakar erat dan menjadi bagian dari kehidupan orang Betawi sejak lama. Tidak heran, mengingat dari sekitar 600-800 aliran silat yang berada di seantero Nusantara, 317 di antaranya berasal dari tanah Betawi. Oleh karena itu, sudah merupakan kelaziman jika orang diminta menyebutkan tokoh dari Betawi, maka nama yang keluar adalah jago-jago silat seperti Pitung, Jampang, atau Entong Gendut. Padahal bila kita melihat sejarah perjalanan bangsa, orang Betawi pun sama seperti etnis lain. Minang misalnya, yang memiliki sederet tokoh pergerakan seperti Muhammad Hatta, Sutan Takdir Alisjahbana, dan Buya Hamka. Tanah Betawi juga melahirkan sederet tokoh tersohor yang merupakan pahlawan nasional dari berbagai macam bidang seperti politik, seni, juga agama seperti Muhammad Husni Thamrin, Ismail Marzuki dan KH. Noer Ali.


Muhammad Husni Thamrin adalah seorang Betawi kelahiran Sawo Besar yang merupakan salah seorang politikus handal yang berasal dari keluarga wedana yang terpandang. Kebiasaannya hidup dan bergaul dengan rakyat miskin sejak kecil, membuat ia menolak mengikuti karir ayahnya sebagai seorang ambtenaar yang digaji besar oleh pemerintah kolonial dan hidup sejahtera. Ia justru memilih jalan hidup sebagai pejuang yang bergerak membela kaumnya yang terjajah. Pada awalnya, ia bergerak dalam organisasi yang masih bersifat kedaerahan bernama Kaoem Betawi, rasa nasionalismenya yang tergugah membuatnya memutuskan untuk ikut melebur bersama aktivis organisasi kedaerahan lain dalam Parindra (Partai Indonesia Raya) dan tergabung sebagai anggota volksraad. Lewat kursi volksraad-lah, Husni Thamrin memperjuangkan hak bangsanya untuk memperoleh pendidikan yang layak dan hidup merdeka dari tengan penjajah.

Muhammad Husni Thamrin

Berbeda dengan Muhammad Husni Thamrin, Ismail Marzuki memiliki jalannya sendiri dalam berjuang. Pemuda Betawi kelahiran Kwitang pada 1914 silam yang biasa dipanggil Bang Maing itu adalah seorang komponis bertalenta tinggi yang legendaris. Berbekal bakat dan kecintaannya yang mendalam pada Ibu Pertiwi, ia telah mencipta sekitar 200 lagu dengan pelbagai macam tema. Mengenai alam keindahan tanah air, misalnya. Dapat diresapi lewat lagunya yang berjudul Indonesia Pusaka atau Rayuan Pulau Kelapa. Mengenai cinta sepasang kekasih, bisa dinikmati lewat lagu Dari Mana Datangnya Asmara, Sabda Alam, atau  Juwita Malam. Mengenai kepahlawanan dan patriotisme yang mampu membakar semangat juang bangsa, terdapat sejumlah lagu seperti Gagah Perwira, Sepasang Mata Bola, atau Gugur Bunga. Selain itu, dia juga pernah mencipta lagu dengan nuansa religius namun padat akan kritik sosial dengan judul Malam Lebaran. Dengan sejumlah lagu yang senantiasa lestari dan tidak lekang ditelan zaman, tidak heran ia dinobatkan sebagai pencipta lagu Indonesia terbaik di Indonesia (versi majalah Rolling Stone edisi Februari 2014).

Ismail Marzuki

Tokoh berikutnya adalah seorang pemimpin agama kharismatik dari Bekasi, KH. Noer Ali. Saking tersohornya, sampai ada ungkapan, “Bukan orang Bekasi, kalo kaga kenal KH.Noer Ali.” Lazimnya para pemimpin agama lain seperti pendiri Nahdhlatul Ulama, KH. Hasyim Asyari dan pendiri Muhamadiyyah, KH. Ahmad Dahlan, KH. Noer Ali pun termasuk pemimpin agama yang menimba ilmu di Mekkah. Di tanah suci ini, beliau berguru pada Syekh Ali Al-Maliki atas rekomendasi gurunya, Guru Marzuki. Selain dengan Syekh Ali Al-Maliki, beliau juga berguru pada Syekh Umar Hamdan, Syekh Ahmad Fatoni, Syekh Ibnul Arabi dan lain-lain. Sepulangnya ke Indonesia, beliau mendirikan pesantren di kampung halamannya, Ujung Malang, Bekasi, demi memperbaiki akhlaq umat yang mulai mengalami kerusakan. Sebagai seorang ulama, KH. Noer Ali tidak hanya memiliki kedalaman ilmu agama, melainkan juga kemampuan untuk terjun dalam pertempuran fisik. Saat agresi militer terjadi, KH. Noer Ali mendapat tugas dari Jendral Oerip Soemohardjo untuk memimpin laskar Hizbullah untuk melawan Sekutu. Saat perang usai, KH. Noer Ali mendapat amanat sebagai ketua Masyumi Cabang Jatinegara dan meningkat menjadi Dewan Konstituante fraksi partai Masyumi. Setelah mundur dari pentas politik saat dibubarkannya Masyumi setelah peristiwa PRRI, KH. Noer Ali kembali mengurus Pesantrennya, At-Taqwa.

KH. Noer Ali

Selain Muhammad Husni Thamrin, Ismail Marzuki dan KH. Noer Ali, tanah Betawi juga memiliki tokoh-tokoh lain yang tidak kalah tersohor seperti Mahbub Junaedi, Benyamin Suaeb, KH. Abdullah Syafii dan masih banyak lagi. Tentu saja, setelah sekian banyak tokoh yang hadir dalam pentas perjuangan, tidak lantas mereka berakhir hanya menjadi bahan cerita. Melainkan mesti kita upayakan untuk mengenang dan menjadikannya sebagai suri tauladan demi Jakarta dan Indonesia yang lebih baik lagi, Insya Allah.


22 Juni 2016, ditulis dalam rangka memperingati ulang tahun Jakarta ke 489.

Sumber bacaan :
G.J. Nawi. 2016. Maen Pukulan Pencak Silat Khas Betawi. Jakarta. Yayasan Obor Indonesia.
Anhar Gonggong. 1992. Pahlawan Nasional Muhammad Husni Thamrin. Jakarta. Balai Pustaka.
Ninok Leksono. 2014. Seabad Ismail Marzuki Senandung Melintas Zaman. Jakarta. Penerbit Buku Kompas.
http://www.staiattaqwa.ac.id/index.php/kh-noer-alie/29-jejak-pemikiran-kh-noer-alie/55-kh-noer-alie-ulama-yang-mujahid  diakses pada 22 Juni 2016 pukul 02.27.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar