Beberapa bulan setelah proklamasi kemerdekaan, di salah satu sudut kota Bandung. Tampak seorang gadis yang tengah gelisah bukan buatan. Malam itu, singgasana hati
gadis berusia sembilas belas tahun ini amat kacau
tak terkendali. Dahinya berkerut, tangannya memeluk bantal untuk
menutupi wajahnya yang tampak gusar, tubuhnya bermandikan peluh meski cuaca
malam di kota kembang itu cukup dingin. Dalam kegalauannya, tidak
henti-hentinya dia meracau seraya bertanya
pada dirinya sendiri.
“Rasa
apa yang aku alami ini?
Gembira yang meluap-luap melebur
dan larut menjadi satu bersama ragu dan takut dalam waktu bersamaan. Duh
Gusti, dosa apa aku hingga harus mengalami siksaan
seperti ini.”
Yuke,
demikian nama panggilan gadis manis itu.
Secara mendadak, dia harus mengalami nestapa yang membuatnya benar-benar bingung bukan kepalang.
Ibunya yang berada di ambang pintu mulai
tidak sabar menunggu.
“Bagaimana?”
“Tapi
Yuke takut, Mami.”