BROT!
Prepetprepetprepetprepeeeeet
. . . . .
Untuk sesaat, aku
merasa lega. Rasa pedih yang begitu melilit perut sejak tadi akhirnya berhasil
kutuntaskan. Eh, tunggu sebentar, sepertinya ada yang luput. Oh, tidak, tuas keran
yang moncongnya mengarah ke dalam bak kamar mandi lupa kuputar. Tentu saja aku
paham kiat-kiat aman saat harus buang air di kamar mandi publik. Tapi, lantaran
rasa mulas yang tak tertahankan, setelah membuka celana, aku langsung nongkrong
dan melewatkan ritus penting untuk menyamarkan bunyi memalukan tersebut. Duuh, tengsin
berat, Bro. Mudah-mudahan gak ada karyawan lain, terutama karyawati, yang
dengar bunyi mencretku yang dahsyat bak bom dan senapan mesin Amerika saat
perang Vietnam.
Setelah mulas yang
mendera agak mereda, aku mulai khidmat melakukan tradisi yang biasa diterapkan
umat manusia yang sedang buang air sejak dulu kala. Tahu kan? Eh, bukan. Aku
gak pernah merokok sambil buang air seperti mas-mas lain yang tidak bertanggung
jawab itu, yang menimbulkan bau tak sedap akibat asapnya, yang bahkan, banyak
juga yang membuang puntungnya ke dalam lubang kakus dan bikin mampet saluran
pembuangan. Lagi pula, aku memang bukan perokok. Aku gak pernah kuat menghirup
asapnya yang sering membuat dadaku sesak. Oke, kembali ke pembahasan utama.
Jadi, tradisi saat buang air yang kumaksud adalah merenung.