BROT!
Prepetprepetprepetprepeeeeet
. . . . .
Untuk sesaat, aku
merasa lega. Rasa pedih yang begitu melilit perut sejak tadi akhirnya berhasil
kutuntaskan. Eh, tunggu sebentar, sepertinya ada yang luput. Oh, tidak, tuas keran
yang moncongnya mengarah ke dalam bak kamar mandi lupa kuputar. Tentu saja aku
paham kiat-kiat aman saat harus buang air di kamar mandi publik. Tapi, lantaran
rasa mulas yang tak tertahankan, setelah membuka celana, aku langsung nongkrong
dan melewatkan ritus penting untuk menyamarkan bunyi memalukan tersebut. Duuh, tengsin
berat, Bro. Mudah-mudahan gak ada karyawan lain, terutama karyawati, yang
dengar bunyi mencretku yang dahsyat bak bom dan senapan mesin Amerika saat
perang Vietnam.
Setelah mulas yang
mendera agak mereda, aku mulai khidmat melakukan tradisi yang biasa diterapkan
umat manusia yang sedang buang air sejak dulu kala. Tahu kan? Eh, bukan. Aku
gak pernah merokok sambil buang air seperti mas-mas lain yang tidak bertanggung
jawab itu, yang menimbulkan bau tak sedap akibat asapnya, yang bahkan, banyak
juga yang membuang puntungnya ke dalam lubang kakus dan bikin mampet saluran
pembuangan. Lagi pula, aku memang bukan perokok. Aku gak pernah kuat menghirup
asapnya yang sering membuat dadaku sesak. Oke, kembali ke pembahasan utama.
Jadi, tradisi saat buang air yang kumaksud adalah merenung.
Ya, merenung. Bagi
banyak orang, kakus adalah tempat ideal untuk mendapatkan gagasan tentang
banyak hal. Semakin lama kita buang air besar, semakin banyak gagasan yang kita
dapat, dan semakin lapang pula isi perut kita. Wah, benar-benar tradisi yang
cemerlang. Entah siapa yang memikirkannya sejak awal. Pastinya, dia adalah
seorang yang jenius. Mungkin seorang pujangga. Mungkin juga seorang filosof,
barangkali. Siapapun dia, kita harus banyak berterimakasih! Bayangkan bila kita
sampai melewatkan momen buang air tanpa merenung, berapa banyak karya yang
batal lahir lantaran harus membuang waktu sia-sia yang sebenarnya bisa
digunakan untuk mencipta sebuah karya. Bayangkan!
TOK! TOK! TOK!
“Woy, masih lama gak?
Gue kebelet nih!”
“Sabar, pake yang di
belakang aja sono. Masih pembukaan nih.”
“Anjrit, bukannya fokus
kerja. Malah fokus boker, lu!”
Halah, ganggu aja.
Justru kalo aku kerja sambil kebelet, malah situasi bisa jadi gak kondusif. Iya,
kan? Sampai mana tadi renungannya? Ah, jadi lupa . . .
Ngek,
ngek, ngek.
BRUUUSH!
Karena lupa lagi
merenung apa, aku jadi ingat kalau belum membuka tuas keran. Syukurlah, akhirnya
dia dibuka juga. Agak telat memang. Tapi biarlah. Toh hitung-hitung
mengantisipasi kemungkinan bunyi tembakan lanjutan yang barangkali tidak kalah
memalukan. Sambil memandang air yang mengucur deras, entah kenapa, aku mulai
terkenang akan masa laluku yang gemilang.
Dua puluhan tahun
silam, aku lahir di keluarga yang berkecukupan, dari pasangan ayah seorang pegawai
perusahaan swasta dengan pangkat lumayan dan ibu seorang guru yang pastinya
memerhatikan pendidikan. Sejak kecil aku dibiasakan untuk gemar membaca dan
akrab dengan buku-buku. Setiap pekan, pasti ada buku yang khatam dibaca. Mulai
dari cergam yang memiliki ilustrasi menyenangkan, novel dengan daya imajinasi
tak bertepi, hingga buku-buku sejarah, sosial, dan budaya yang kaya akan
wawasan. Tidak heran di masa wajib belajar 12 tahun, aku selalu diterima di
sekolah favorit dan menjadi bintang kelas di kota asalku. Setelah lulus dari
SMA, karier pendidikanku semakin cemerlang. Aku tembus ujian mandiri di
universitas nomor satu di negeri ini. Karena universitas tersebut berada jauh
dari kota asalku, aku terpaksa merantau dan membiasakan hidup seorang diri.
Puji syukur, kehidupanku di tanah rantau juga berjalan baik. Sebagai mahasiswa,
aku tidak hanya menghabiskan waktu untuk berkuliah saja, tetapi juga terlibat
aktif di berbagai macam kegiatan seni, sosial, hingga debat-debat kritis yang
seiring waktu, kian menajamkan nalar intelektualitasku.
Setelah bertahun-tahun,
koleksi bacaanku semakin banyak, jaringan pertemananku pun sangat luas. Bagiku,
wawasan luas dan pemikiran kritis yang telah kuperoleh ini adalah hal yang
teramat berharga. Tidak sedikit masalah dalam keluarga, bahkan lingkungan
sekitar, berhasil kupecahkan dengan solusi yang mutakhir. Berkat itu, aku
menjadi sosok yang dielu-elukan akan menjadi calon pemimpin masa depan kelak.
Tampak membanggakan, memang. Tapi sayang, ada satu hal yang paling aku sesali.
Hal yang sebenarnya tampak sepele dan ringan bagi banyak orang, namun tidak
bagiku. Hal itu sungguh teramat pelik dan rumit. Malah, sampai berkali-kali
nyaris menghancurkan momen terpentingku. Hal itu adalah . . . kerupuk seblak.
Tunggu, jangan ketawa
dulu! Aku serius. Kerupuk seblak memang hal yang membuat gamang hidupku yang
cemerlang. Aku sadar memiliki organ pencernaan yang lemah sejak lahir, tapi
pesona pedas dan gurihnya, benar-benar meruntuhkan keimanan. Tiap melewati rak
makanan ringan di toserba, kerupuk seblak celaka itu tak pernah absen luput dari
penglihatanku. Sudah tahu bakal mencret setelah makan, tak juga hilang khilafku
untuk menikmati satu bungkus besar sebagai kudapan kala bersantai di waktu
malam. Seperti yang kualami sekarang, seharusnya aku ikut rapat penting yang
menentukan jalan perusahaan ini ke depan, tapi aku malah berada di sini, entah
sudah berapa jam aku harus nongkrong dengan perut mulas akibat kebanyakan makan
kerupuk seblak. Kakiku mulai gemetar perlahan, tanda sudah tak kuat menopang
bobot badan. Ah, gila memang. Gara-gara kerupuk seblak, mati nalar logisku
sebagai seorang intelektual!
Sipp keren banggg...
BalasHapus