Senin, 25 Maret 2019

Matinya Nalar Seorang Intelektual



BROT!
Prepetprepetprepetprepeeeeet . . . . .
Untuk sesaat, aku merasa lega. Rasa pedih yang begitu melilit perut sejak tadi akhirnya berhasil kutuntaskan. Eh, tunggu sebentar, sepertinya ada yang luput. Oh, tidak, tuas keran yang moncongnya mengarah ke dalam bak kamar mandi lupa kuputar. Tentu saja aku paham kiat-kiat aman saat harus buang air di kamar mandi publik. Tapi, lantaran rasa mulas yang tak tertahankan, setelah membuka celana, aku langsung nongkrong dan melewatkan ritus penting untuk menyamarkan bunyi memalukan tersebut. Duuh, tengsin berat, Bro. Mudah-mudahan gak ada karyawan lain, terutama karyawati, yang dengar bunyi mencretku yang dahsyat bak bom dan senapan mesin Amerika saat perang Vietnam.

Setelah mulas yang mendera agak mereda, aku mulai khidmat melakukan tradisi yang biasa diterapkan umat manusia yang sedang buang air sejak dulu kala. Tahu kan? Eh, bukan. Aku gak pernah merokok sambil buang air seperti mas-mas lain yang tidak bertanggung jawab itu, yang menimbulkan bau tak sedap akibat asapnya, yang bahkan, banyak juga yang membuang puntungnya ke dalam lubang kakus dan bikin mampet saluran pembuangan. Lagi pula, aku memang bukan perokok. Aku gak pernah kuat menghirup asapnya yang sering membuat dadaku sesak. Oke, kembali ke pembahasan utama. Jadi, tradisi saat buang air yang kumaksud adalah merenung.