Entah cuma perasaan saya saja, atau belakangan ini kita kerap memakai standar ganda dalam
menilai sesuatu? Tempo hari, sewaktu Florence Sihombing mengolok-olok Yogyakarta,
kita benar-benar marah dan menghakiminya dengan luar biasa . Kita balas
memaki dia sebagai orang tanpa sopan santun meski berkuliah di
universitas terbaik, kita teror tempat tinggalnya yang alamatnya disebar-luaskan
tanpa ampun di internet. Bahkan, ada LSM dan sekelompok preman yang berniat
mengusir Florence dari Yogyakarta. Sungguh luar biasa pembelaan yang dilakukan. Melihat hukuman sosial
yang dia terima, seolah-olah Florence Sihombing adalah penjahat kelas kakap yang
telah melakukan dosa yang tak termaafkan.
Sayangnya, pembelaan
yang kita lakukan pada Yogyakarta tidak berlaku bagi Bekasi. Entah sejak kapan,
kota kecil yang terdapat di sebelah timur Jakarta itu seakan tidak ada habisnya
untuk menjadi bahan celaan. Saya tidak tahu siapa yang memulai lebih dahulu,
yang pasti, sudah beredar banyak sekali olok-olok dalam bentuk tulisan maupun
gambar mengenai Bekasi yang tidak pantas di internet. Apakah memang segitu
rendahnya nilai Bekasi ketimbang Yogya?
Jika kita sedikit saja
menengok di masa lalu, Bekasi adalah salah satu wilayah yang menjadi medan
peperangan yang cukup dahsyat pada masa perang revolusi tahun 1945-1949. Di bawah pekik dan gelora takbir yang membahan, rakyat Bekasi turun berperang berkobar demi mengusir tentara sekutu yang kembali menjajah setelah kekalahan Jepang pada 1945. Pada saat itu, pertempuran
dipimpin oleh KH. Noer Ali, seorang ulama pejuang kharismatik Betawi. Karena
keberaniannya, beliau dijuluki Singa Krawang.
Ada beberapa
pertempuran sengit yang dikomandoi oleh Sang Singa Krawang. Dua pertempuran
terdahsyat adalah pertempuran Sasak Kapuk pada November 1945 dan tragedi Rawa
Gede pada Desember 1947 dimana tentara Belanda amat murka sehingga mereka menghabisi
sekitar 400 nyawa penduduk tanpa ampun. Chairil Anwar, seorang pujangga terkemuka
negeri ini mengabadikan para pejuang yang telah gugur pada pertempuran tersebut
dalam salah satu puisinya yang cukup terkenal, Krawang Bekasi.
Saya pikir, mengingat banyaknya darah para pejuang yang tertumpah, tidak semestinya kita menjadikan Bekasi
sebagai bahan olok-olok. Tanpa pertempuran mati-matian yang para pejuang tempuh hingga banyak yang meregang nyawa, boleh jadi kita tidak dapat menikmati kemerdekaan seperti
sekarang. Sebagai orang Betawi, saya juga diajarkan untuk menghormati
para ulama. Mereka adalah orang-orang yang menunjukkan jalan keselamatan di dunia
dan akhirat. Jengah sekali rasanya melihat tanah kelahiran sang ulama pejuang,
KH. Noer Ali, diolok-olok dengan amat membabi-buta di internet. Benar-benar
kelakuan orang yang tidak tahu diri.
Barangkali ini adalah salah satu akibat dari generasi yang mulai lupa sejarah. Saking kronisnya, kita sampai tidak menghargai atau menghormati kota yang menjadi saksi bisu perjuangan. Ironis sekali mengingat “Jangan sekali-kali meninggalkan sejarah” adalah pesan dari Bung Karno, panglima besar revolusi yang menjadi orang nomor satu di Indonesia. Karena lupa sejarah, kita menjadi pilih kasih. Mengistimewakan satu daerah tapi lupa terhadap daerah yang lain. Bagi saya, setiap jengkal dari tanah di negeri ini adalah istimewa. Bukan hanya Yogyakarta, melainkan juga Bekasi dan seluruh wilayah di Indonesia. Karena itu kita wajib untuk menghargai dan memuliakannya demi menghormati para pejuang yang telah merebut dan mempertahankannya dari tangan penjajah.
Barangkali ini adalah salah satu akibat dari generasi yang mulai lupa sejarah. Saking kronisnya, kita sampai tidak menghargai atau menghormati kota yang menjadi saksi bisu perjuangan. Ironis sekali mengingat “Jangan sekali-kali meninggalkan sejarah” adalah pesan dari Bung Karno, panglima besar revolusi yang menjadi orang nomor satu di Indonesia. Karena lupa sejarah, kita menjadi pilih kasih. Mengistimewakan satu daerah tapi lupa terhadap daerah yang lain. Bagi saya, setiap jengkal dari tanah di negeri ini adalah istimewa. Bukan hanya Yogyakarta, melainkan juga Bekasi dan seluruh wilayah di Indonesia. Karena itu kita wajib untuk menghargai dan memuliakannya demi menghormati para pejuang yang telah merebut dan mempertahankannya dari tangan penjajah.
Sepakat. Sebagai orang yang saat ini berdomisili di Ciledug (selain Bekasi, Ciledug juga sering diolok-olok), saya geram kota saya ini jadi bahan olok-olok.
BalasHapusOrang kaga tau diri itu, mbak. Musti digampar pake buku sejarah kayaknya, hehehe
BalasHapus