Rabu, 21 Januari 2015

Tentang Bekasi

Entah cuma perasaan saya saja, atau belakangan ini kita kerap memakai standar ganda dalam menilai sesuatu? Tempo hari, sewaktu Florence Sihombing mengolok-olok Yogyakarta, kita benar-benar marah dan menghakiminya dengan luar biasa . Kita balas memaki dia sebagai orang tanpa sopan santun meski berkuliah di universitas terbaik, kita teror tempat tinggalnya yang alamatnya disebar-luaskan tanpa ampun di internet. Bahkan, ada LSM dan sekelompok preman yang berniat mengusir Florence dari Yogyakarta. Sungguh luar biasa pembelaan yang dilakukan. Melihat hukuman sosial yang dia terima, seolah-olah Florence Sihombing adalah penjahat kelas kakap yang telah melakukan dosa yang tak termaafkan.
Sayangnya, pembelaan yang kita lakukan pada Yogyakarta tidak berlaku bagi Bekasi. Entah sejak kapan, kota kecil yang terdapat di sebelah timur Jakarta itu seakan tidak ada habisnya untuk menjadi bahan celaan. Saya tidak tahu siapa yang memulai lebih dahulu, yang pasti, sudah beredar banyak sekali olok-olok dalam bentuk tulisan maupun gambar mengenai Bekasi yang tidak pantas di internet. Apakah memang segitu rendahnya nilai Bekasi ketimbang Yogya?

Jika kita sedikit saja menengok di masa lalu, Bekasi adalah salah satu wilayah yang menjadi medan peperangan yang cukup dahsyat pada masa perang revolusi tahun 1945-1949. Di bawah pekik dan gelora takbir yang membahan, rakyat Bekasi turun berperang berkobar demi mengusir tentara sekutu yang kembali menjajah setelah kekalahan Jepang pada 1945. Pada saat itu, pertempuran dipimpin oleh KH. Noer Ali, seorang ulama pejuang kharismatik Betawi. Karena keberaniannya, beliau dijuluki Singa Krawang.
Ada beberapa pertempuran sengit yang dikomandoi oleh Sang Singa Krawang. Dua pertempuran terdahsyat adalah pertempuran Sasak Kapuk pada November 1945 dan tragedi Rawa Gede pada Desember 1947 dimana tentara Belanda amat murka sehingga mereka menghabisi sekitar 400 nyawa penduduk tanpa ampun. Chairil Anwar, seorang pujangga terkemuka negeri ini mengabadikan para pejuang yang telah gugur pada pertempuran tersebut dalam salah satu puisinya yang cukup terkenal, Krawang Bekasi.
Saya pikir, mengingat banyaknya darah para pejuang yang tertumpah, tidak semestinya kita menjadikan Bekasi sebagai bahan olok-olok. Tanpa pertempuran mati-matian yang para pejuang tempuh hingga banyak yang meregang nyawa, boleh jadi kita tidak dapat menikmati kemerdekaan seperti sekarang. Sebagai orang Betawi, saya juga diajarkan untuk menghormati para ulama. Mereka adalah orang-orang yang menunjukkan jalan keselamatan di dunia dan akhirat. Jengah sekali rasanya melihat tanah kelahiran sang ulama pejuang, KH. Noer Ali, diolok-olok dengan amat membabi-buta di internet. Benar-benar kelakuan orang yang tidak tahu diri.
Barangkali ini adalah salah satu akibat dari generasi yang mulai lupa sejarah. Saking kronisnya, kita sampai tidak menghargai atau menghormati kota yang menjadi saksi bisu perjuangan. Ironis sekali mengingat “Jangan sekali-kali meninggalkan sejarah” adalah pesan dari Bung Karno, panglima besar revolusi yang menjadi orang nomor satu di Indonesia. Karena lupa sejarah, kita menjadi pilih kasih. Mengistimewakan satu daerah tapi lupa terhadap daerah yang lain. Bagi saya, setiap jengkal dari tanah di negeri ini adalah istimewa. Bukan hanya Yogyakarta, melainkan juga Bekasi dan seluruh wilayah di Indonesia. Karena itu kita wajib untuk menghargai dan memuliakannya demi menghormati para pejuang yang telah merebut dan mempertahankannya dari tangan penjajah.  

2 komentar:

  1. Sepakat. Sebagai orang yang saat ini berdomisili di Ciledug (selain Bekasi, Ciledug juga sering diolok-olok), saya geram kota saya ini jadi bahan olok-olok.

    BalasHapus
  2. Orang kaga tau diri itu, mbak. Musti digampar pake buku sejarah kayaknya, hehehe

    BalasHapus