Senin, 25 Maret 2019

Matinya Nalar Seorang Intelektual



BROT!
Prepetprepetprepetprepeeeeet . . . . .
Untuk sesaat, aku merasa lega. Rasa pedih yang begitu melilit perut sejak tadi akhirnya berhasil kutuntaskan. Eh, tunggu sebentar, sepertinya ada yang luput. Oh, tidak, tuas keran yang moncongnya mengarah ke dalam bak kamar mandi lupa kuputar. Tentu saja aku paham kiat-kiat aman saat harus buang air di kamar mandi publik. Tapi, lantaran rasa mulas yang tak tertahankan, setelah membuka celana, aku langsung nongkrong dan melewatkan ritus penting untuk menyamarkan bunyi memalukan tersebut. Duuh, tengsin berat, Bro. Mudah-mudahan gak ada karyawan lain, terutama karyawati, yang dengar bunyi mencretku yang dahsyat bak bom dan senapan mesin Amerika saat perang Vietnam.

Setelah mulas yang mendera agak mereda, aku mulai khidmat melakukan tradisi yang biasa diterapkan umat manusia yang sedang buang air sejak dulu kala. Tahu kan? Eh, bukan. Aku gak pernah merokok sambil buang air seperti mas-mas lain yang tidak bertanggung jawab itu, yang menimbulkan bau tak sedap akibat asapnya, yang bahkan, banyak juga yang membuang puntungnya ke dalam lubang kakus dan bikin mampet saluran pembuangan. Lagi pula, aku memang bukan perokok. Aku gak pernah kuat menghirup asapnya yang sering membuat dadaku sesak. Oke, kembali ke pembahasan utama. Jadi, tradisi saat buang air yang kumaksud adalah merenung.

Kamis, 06 September 2018

Bagaimana Cara Terbaik Menikmati Unggas Bernama Ayam?


Malam belum terlalu larut. Tetangga yang tinggal di sebelah rumah kami sepertinya masih asyik menonton sinetron di televisi. Sesekali terdengar gelak tawa saat menonton adegan lucu, di waktu yang lain, terdengar isak tangis lantaran menyaksikan adegan mengharukan. Suasana di rumah mereka memang ramai. Beda sekali dengan keluargaku. Saat ini, sepatutnya sebuah keluarga sedang berkumpul bersama untuk menonton televisi atau sekedar berbagi cerita, aku malah memilih untuk membenamkan wajah ke bantal dalam-dalam. Aku bukannya mau tidur. Aku justru melarikan diri lantaran tidak tahan dengan pertengkaran besar bapak dan emak yang mendadak meledak beberapa saat lalu, di waktu sepatutnya kami menikmati makan malam yang riang seperti layaknya keluarga kebanyakan. Aku benar-benar tidak menyangka, saking mengerikannya, aku takut pertengkaran mereka bakal meluluh-lantakkan keutuhan keluarga ini.

“HUWEEEE!!”

Terdengar suara adikku meraung-raung dari ruang tengah. Wajar saja, selama ini kami tidak pernah melihat bapak dan emak bertengkar. Emak yang kami kenal adalah sosok peramah yang murah senyum dan bapak yang terkenal humoris biasanya berusaha tidak kenal henti membuat kami tertawa kendati humornya malah lebih banyak garing ketimbang lucu. Mengingat kebersamaan mereka selama ini, rasanya aku tidak tahan untuk tidak meneteskan air mata. Ukh . . .

Jumat, 11 Mei 2018

Selintas Kenang di Kota Kembang



Sebagai orang yang mudah terbawa perasaan, bagaimanapun bentuknya, saya paling tidak suka dengan perpisahan. Bahkan, meski perpisahan itu sudah direncanakan sematang mungkin. Kendati telah memutuskan Bandung hanya sebagai tempat singgah, segala kenang-kenangan selama satu tahun mendadak membuncah hebat di malam terakhir ini.
Pada awalnya saya memang tidak merencanakan sama sekali untuk merantau ke kota ini. Saat itu saya sedang galau-galaunya lantaran belum memiliki penghasilan yang layak dan hanya mengisi waktu sambil mengajar di bimbingan belajar sambil mengirim lamaran pekerjaan. Sayangnya, beberapa perusahaan yang saya kirimi, seakan enggan memberi jawaban. Meski ada juga yang akhirnya memberi harapan kerja, namun harus kembali kandas dalam tahap wawancara. Sampai pada akhirnya, saya melihat ada lowongan pekerjaan sebagai penulis naskah di Studio Kumata yang mampir di linimasa lewat akun Pia, seorang teman yang sudah terlebih dahulu bekerja di sana. Jadilah saya kembali mengirim lamaran di studio animasi yang terletak di Kota Kembang itu dengan penuh harapan.

Minggu, 16 Juli 2017

"Gambar Itu Haram?", Pembahasan Solutif Bagi Muslim Penggiat Seni


Sebagai seorang muslim yang hidup berdekatan dengan seni menggambar, teks agama atau ceramah yang banyak beredar dan menyatakan secara gamblang bahwa penggambar pasti masuk neraka dan paling berat siksanya merupakan satu hal yang paling membuat hati menjadi gamang. Keadaan pun diperparah dengan ramainya perdebatan yang seakan tanpa henti antara mereka yang ingin tetap menggambar meski harus menepikan agama melawan kubu yang meyakini dalil tersebut secara tekstual.

Sabtu, 11 Maret 2017

Tentang Atheis

Bukan.
Gw bukan lagi pengen menjabarkan mengenai atheis sebagai ideologi atau pemikiran, mengingat gw ini cuma sarjana sok pinter yang telat lulus dengan IPK rada cekak, jelas bukan kapasitas gw juga buat ngejelasin hal semacam demikian. Atheis yang gw maksud adalah film yang baru gw tonton hari ini (Sabtu, 11 Maret 2017) di Kineforum, Taman Ismail Marzuki. Hal ini berawal dari kondisi gw yang lagi suntuk banget, mau nulis tapi ide mampet. Liat timeline instagram (@tanfidz_t, barangkali ada yang mau follow, hehe), kok ada film yang kayaknya menarik. Setelah gagal mengajak beberapa teman, akhirnya gw pun berangkat nonton bersama penonton lain yang tampaknya banyak juga yang datang sendirian (maklum sih, mana film jadul, kayaknya banyak yang gak tau pula. Jadi ngerasa elitis nih, wkwkwk).

Poster Film Atheis, suangaar!

Minggu, 18 September 2016

Rupa Rupa Jakarta. Meski Hujan, Semangat Jalan Terus!

Jujur aja, gue emang bukan orang yang benar-benar aktif dan update dalam dunia stand up comedy. Gue baru beberapa kali nonton stand up comedy show dan open mic waktu kuliah yang menurut gue cukup bagus, tapi belum ada yang benar-benar membuat gue terkesan. Namun, gue baru dibuat takjub oleh pertunjukan stand up comedy David Nurbianto bertajuk Rupa Rupa Jakarta. Pertunjukan ini diadakan di Amplitheater Setu Babakan pada 17 September 2016. Pada awalnya, gue sempet ngedumel karena open gate lumayan ngaret. Pada poster publikasi tertera bahwa open gate dilaksanakan pada pukul 18.30. Namun, ternyata penonton baru bisa masuk area sekitar hampir pukul 20.00.

Nih, Poster Publikasinya.

Selasa, 16 Agustus 2016

Perayaan Cinta Om Kacamata

Beberapa bulan setelah proklamasi kemerdekaan, di salah satu sudut kota Bandung. Tampak seorang gadis yang tengah gelisah bukan buatan. Malam itu, singgasana hati gadis berusia sembilas belas tahun ini amat kacau tak terkendali. Dahinya berkerut, tangannya memeluk bantal untuk menutupi wajahnya yang tampak gusar, tubuhnya bermandikan peluh meski cuaca malam di kota kembang itu cukup dingin. Dalam kegalauannya, tidak henti-hentinya dia meracau seraya bertanya pada dirinya sendiri.
“Rasa apa yang aku alami ini? Gembira yang meluap-luap melebur dan larut menjadi satu bersama ragu dan takut dalam waktu bersamaan. Duh Gusti, dosa apa aku hingga harus mengalami siksaan seperti ini.”
Yuke, demikian nama panggilan gadis manis itu. Secara mendadak, dia harus mengalami nestapa yang membuatnya benar-benar bingung bukan kepalang. Ibunya yang berada di ambang pintu mulai tidak sabar menunggu.
“Bagaimana?”
“Tapi Yuke takut, Mami.”