Minggu, 18 September 2016

Rupa Rupa Jakarta. Meski Hujan, Semangat Jalan Terus!

Jujur aja, gue emang bukan orang yang benar-benar aktif dan update dalam dunia stand up comedy. Gue baru beberapa kali nonton stand up comedy show dan open mic waktu kuliah yang menurut gue cukup bagus, tapi belum ada yang benar-benar membuat gue terkesan. Namun, gue baru dibuat takjub oleh pertunjukan stand up comedy David Nurbianto bertajuk Rupa Rupa Jakarta. Pertunjukan ini diadakan di Amplitheater Setu Babakan pada 17 September 2016. Pada awalnya, gue sempet ngedumel karena open gate lumayan ngaret. Pada poster publikasi tertera bahwa open gate dilaksanakan pada pukul 18.30. Namun, ternyata penonton baru bisa masuk area sekitar hampir pukul 20.00.

Nih, Poster Publikasinya.

Selasa, 16 Agustus 2016

Perayaan Cinta Om Kacamata

Beberapa bulan setelah proklamasi kemerdekaan, di salah satu sudut kota Bandung. Tampak seorang gadis yang tengah gelisah bukan buatan. Malam itu, singgasana hati gadis berusia sembilas belas tahun ini amat kacau tak terkendali. Dahinya berkerut, tangannya memeluk bantal untuk menutupi wajahnya yang tampak gusar, tubuhnya bermandikan peluh meski cuaca malam di kota kembang itu cukup dingin. Dalam kegalauannya, tidak henti-hentinya dia meracau seraya bertanya pada dirinya sendiri.
“Rasa apa yang aku alami ini? Gembira yang meluap-luap melebur dan larut menjadi satu bersama ragu dan takut dalam waktu bersamaan. Duh Gusti, dosa apa aku hingga harus mengalami siksaan seperti ini.”
Yuke, demikian nama panggilan gadis manis itu. Secara mendadak, dia harus mengalami nestapa yang membuatnya benar-benar bingung bukan kepalang. Ibunya yang berada di ambang pintu mulai tidak sabar menunggu.
“Bagaimana?”
“Tapi Yuke takut, Mami.”

Minggu, 24 Juli 2016

Mencari Kopi di Bukit Menoreh


Perjalanan super selo ini bermula di suatu sore waktu gue lagi bosen-bosennya dengan rutinitas (baca : scrolling social media). Gak ada angin, gak ada ujan, tiba-tiba gue diajak main secara random sama temen di kampus lewat whatsapp. Karena emang lagi bosen, yaudah, gue ikut aja. Setelah diskusi soal destinasi tujuan barang sejenak, akhirnya pilihan jatuh (gak tau siapa yang jorogin) pada Kedai Kopi Pak Rohmat di Bukit Menoreh, Kulon Progo, setelah sebelumnya gue sempat debat dan rada ngotot buat pergi ke Krakatau biar bisa berburu Moltress.

Karena percaya bahwa waktu paling shahih untuk menikmati kopi adalah pagi hari, kami pun berangkat dengan penuh semangat dan keyakinan teguh (lebay, woi, lebay!) pada pukul 7 pagi dari kota Jogja. Sayangnya, perjalanan tidak semulus yang kami duga sebelumnya, gue sempat curiga kalo perjalanan punya masalah dengan jerawat, sip, garing. Ya, gak ada yang nyangka kalo kenikmatan segelas kopi harus ditebus lewat pertarungan penuh darah dengan para jago silat mematikan yang dijuluki Lidah Api Bukit Menoreh

Rabu, 22 Juni 2016

Betawi Bukan Sekedar Pitung dan Jampang

Tradisi maen pukulan memang telah mengakar erat dan menjadi bagian dari kehidupan orang Betawi sejak lama. Tidak heran, mengingat dari sekitar 600-800 aliran silat yang berada di seantero Nusantara, 317 di antaranya berasal dari tanah Betawi. Oleh karena itu, sudah merupakan kelaziman jika orang diminta menyebutkan tokoh dari Betawi, maka nama yang keluar adalah jago-jago silat seperti Pitung, Jampang, atau Entong Gendut. Padahal bila kita melihat sejarah perjalanan bangsa, orang Betawi pun sama seperti etnis lain. Minang misalnya, yang memiliki sederet tokoh pergerakan seperti Muhammad Hatta, Sutan Takdir Alisjahbana, dan Buya Hamka. Tanah Betawi juga melahirkan sederet tokoh tersohor yang merupakan pahlawan nasional dari berbagai macam bidang seperti politik, seni, juga agama seperti Muhammad Husni Thamrin, Ismail Marzuki dan KH. Noer Ali.

Rabu, 04 Mei 2016

Bengkel Buya, Oase dalam Untaian Panel

Di masa orde lama, orang-orang tua dan aktivis di bidang pendidikan banyak yang menganggap komik sebagai biang keladi penyebab kerusakan moral anak muda. Mereka menolak dan berusaha agar komik tidak bisa lagi diterbitkan di Indonesia. Usaha mereka memang tidak sepenuhnya berhasil, namun, penerbitan komik sempat mengalami kesulitan karena setiap komik yang beredar harus mendapat izin berupa cap dari kepolisian.

Kini, meskipun masih ada orang-orang yang masih berpikiran seperti demikian, komik sudah bisa diterima oleh banyak kalangan. Hal ini mungkin terjadi karena semakin banyak komik yang dibuat dengan tujuan pendidikan seperti komik wayang dan mencapai puncaknya saat komik religi menguasai pasar kaum agamais pada periode 1990-an yang banyak dijual di serambi masjid atau madrasah. Komik religi dibuat dengan berbagai macam jenis cerita seperti komik surga-neraka, komik dongeng 1001 malam, dan komik tokoh-tokoh agama.

Senin, 18 April 2016

Lika-Liku Komik Indie : Selalu Menjadi Solusi Alternatif?


Bila menengok kondisi perkomikan lokal pada periode 1990-an, kita akan menemukan fakta bahwa komik lokal pernah melalui masa yang amat sulit. Kala itu, toko buku besar menjadi jalur distribusi yang difavoritkan pembeli buku. Oleh karenanya, tidak aneh bila menerbitkan komik lewat jalur penerbit, yang kemudian dijual lewat toko buku tersebut menjadi pilihan utama sebagian penulis. Sayangnya, dengan alasan lebih menguntungkan secara komersial, penerbit justru lebih tertarik menerbitkan komik Jepang terjemahan yang merupakan primadona di kalangan anak muda saat itu. Ketidakmampuan komik lokal bersaing dan menembus distribusi toko buku besar membuatnya tenggelam secara perlahan. Bahkan, taman bacaan yang biasa menjadi jalur distribusinya selama puluhan tahun pun menghilang satu demi satu.

Minggu, 03 April 2016

Perbudakan di Batavia pada Abad 17 dalam Sebuah Komik (Review Komik Roseta)

Apa syarat agar sebuah komik berkesan di hati pembaca? Menurut saya, tak ada jawaban yang benar-benar pasti. Hati adalah wilayah yang terlampau sukar untuk dijamah logika. Sampai sekarang, belum ditemukan jawaban jitu bila muncul pertanyaan yang menyenggol urusan hati. Meski tidak melulu tepat, menurut saya, ada satu metode berkomik yang biasanya sukses mencapai hati pembaca.

Tidak lain dan tidak bukan, komik mesti dibuat dengan sungguh-sungguh. Tidak sekedar memakai teknik gambar dan bercerita yang baik, tapi sang pengkarya juga kudu menguasai materi setelah melalui riset mumpuni. Berkenaan dengan itu, bagi saya, ada satu komik yang tercipta dengan metode demikian dan sukses memberi kesan yang mendalam, yaitu Roseta karya Man.

Minggu, 20 Maret 2016

Tentang Komikus Pertama di Indonesia

Bila ditanya mengenai komikus pertama di Indonesia, siapa tokoh yang berada di benak teman-teman?
Secara umum, biasanya orang akan mengambil tokoh yang paling berpengaruh di bidang tersebut. Pada bidang komik, boleh jadi nama yang lantas tercetus sebagai komikus pertama di Indonesia adalah RA Kosasih. Tidak bisa dipungkiri, beliau adalah salah seorang komikus generasi awal yang telah melahirkan banyak komikus baru yang terinspirasi dari buah karyanya. Di antara karya-karyanya yang melegenda adalah serial komik wayang terbit sejak tahun 1955 dan terus dicetak ulang hingga saat ini. Saking melegendanya RA Kosasih, nama beliau bisa disejajarkan dengan Will Eisner dan Osamu Tezuka sebagai komikus paling berpengaruh yang namanya diabadikan sebagai penghargaan paling bergengsi untuk komik di tanah kelahiran masing-masing.[1]

Sabtu, 20 Februari 2016

Tentang Tan yang Meratap di Tengah Malam

“Ya Allah . .”
 Malam itu, terdengar suara isak tangis yang amat pilu dari sebuah gubuk reot di pinggiran desa. Suasana pada saat itu memang sungguh kelam. Cahaya sang rembulan yang biasanya hadir lembut menenangkan pun tidak nampak karena dicengkeram kungkungan awan hitam. Awan tersebut tebal dan bergulung, menutup semua sumber cahaya malam. Sementara itu, binatang malam yang hidup di sekitar gubuk pun enggan bersuara dan memilih berdiam dalam kesunyian. Boleh jadi, alam sekitar sedang bersimpati pada pria itu. Pria yang sedang tenggelam dan hanyut dalam isak tangisnya sendiri. Perlahan-lahan, isak tangisnya menjadi semakin dahsyat. Badannya mulai bergetar hebat. Punggungnya basah oleh peluh yang mengucur sedari tadi. Sungguh, tidak terbayang beratnya beban dan cobaan yang tertanggung pada pundak pria tersebut.
 Pria dalam gubuk itu dikenal penduduk desa sebagai Ilyas Hussein, seorang Kepala Badan Pengurus Romusha yang sangat pintar dan baik hatinya. Ia kerap menggunakan gajinya untuk membeli makanan yang diberikannya kepada para romusha.  Romusha yang dipekerjakan untuk menambang batubara di Banten itu memang tidak jarang menderita sakit dan kelaparan karena kurangnya makanan dan buruknya fasilitas yang disediakan oleh tentara Dai Nippon.

Rabu, 13 Januari 2016

Tentang Walet Merah dan Perkembangan Zaman


Jujur, sebenarnya saya bukan seorang penggemar cergam Indonesia tulen yang benar-benar memahami belantika cergam Indonesia seutuhnya. Saya cuma seorang anak muda yang belum lama dan baru saja mulai mencoba mencintai karya bangsanya. Oleh karena itu, izinkanlah saya mengapresiasi cergam yang belum lama saya baca, Walet Merah, karya legendaris ciptaan Pak Hans Jaladara, cergamis senior negeri ini yang telah banyak membuahkan karya luar biasa sejak terbitnya Pandji Tengkorak pada tahun 1968 silam. Dalam tulisan ini, saya sengaja mengganti istilah komik, dengan kata cergam, mengingat karya Pak Hans mulai dilahirkan sejak periode 1960an dimana istilah cergam digunakan untuk menyebut komik Indonesia secara khusus.

Perkenalan pertama saya dengan karya Pak Hans terjadi beberapa tahun yang lalu. Saat saya membaca salah satu cergam terbarunya, Intan Permata Rimba yang diterbitkan penerbit Koloni pada tahun 2010. Perkenalan pertama yang membekas itu membawa alam penasaran saya untuk mencari tahu (dan berburu) lebih banyak cergam legendaris karya maestro cergam Indonesia di masa lampau. Setelah sekian lama, akhirnya saya baru ditakdirkan untuk bertemu Walet Merah terbitan Elex Media Komputindo tahun 2004 yang merupakan versi lukis ulang dari versi aslinya yang diterbitkan pada tahun 1969 pada 10 Januari 2016 di sebuah toko buku kecil di Yogyakarta.